#49: Teman, tapi Rival

31 7 0
                                    

"Terkadang kita perlu sadar diri bahwa dekat sekalipun, bukan berarti kita spesial untuknya."

Anonim

❤️❤️❤️

Sebenarnya bisa saja Diaz dan Dya naik bus trans Jogja dengan arah yang berlawanan saat mereka datang. Atau pulang dengan berbekal aplikasi penunjuk arah. Namun, Aksa melarang keras mereka ke mana-mana. Mereka diminta untuk menunggu akan ada yang menjemput mereka. Takutnya jika kembali nekat, mereka justru akan semakin tersesat.

Di tengah kebingungan akan arah tadi, tiba-tiba Aksa menelepon Diaz. Bagai pucuk dicinta, ulam pun tiba. Diaz langsung melaporkan tentang tersesatnya mereka karena Dya yang asal naik bus.

"Tapi, kalian enggak kenapa-kenapa, kan?" tanya Aksa khawatir.

"Enggak kenapa-kenapa. Cuma agak buta arah aja."

"Kirimin lokasi kalian ada di mana, ya. Nanti gue jemput."

"Oke."

Diaz pun langsung mengirim letak lokasi mereka berada menggunakan aplikasi di ponsel.

"Tunggu di situ, ya. Jangan ke mana-mana pokoknya. Gue musuhin kalian seumur hidup kalau sampai pergi dan kesasar lagi." Aksa mengancam.

Di sanalah mereka saat ini. Duduk bersebelahan di halte tempat mereka turun bus terakhir.

"Maaf, ya, Yaz. Kamu jadi ikut kesasar karena aku." Dya berkata lirih.

"Seru," ujar Diaz tanpa diduga.

"Apanya yang seru?" tanya Dya keheranan.

"Kesasarnya. Soalnya bareng rival sendiri." Diaz terkekeh geli. Rasanya baru kali itu selama mengenal Diaz, Dya bisa melihat pemuda itu tertawa geli. Mau tidak mau Dya jadi ikut tertawa.

"Kamu beda banget kalau lagi ketawa, Yaz." Dya berkata jujur.

"Beda apanya?"

"Auranya jadi beda banget sama Diaz yang aku kenal selama ini."

"Memangnya selama ini auraku gimana?"

"Nyebelin banget. Kenapa, sih, kamu kayak gitu ke aku waktu kita pertama kali kenal? Padahal baik begini juga, kan, enggak ada ruginya."

Diaz terdiam cukup lama. Dya pun tak ingin mendesaknya. Jadi, ia biarkan saja keheningan itu menaungi mereka. Sampai sebuah jawaban keluar dari mulut Diaz tanpa Dya duga sama sekali.

"Aku enggak mau terlalu akrab sama orang. Takut sakit kalau nanti saling menjauh karena keadaan."

Dya menatap wajah Diaz dari samping. Pemuda itu sedang menunduk, memperhatikan kedua tangannya yang saling bertautan.

"Itu kenapa sebabnya kamu selama ini enggak punya temen?" tanya Dya iba. Ia berpikir betapa sunyinya hidup Diaz selama ini. Dya yang punya banyak teman saja sering merasa kesepian.

"Kurang lebih begitu. Soalnya dulu waktu SMP aku punya temen akrab. Tapi, dia menjauh saat tau aku anak selingkuhan. Anak pelakor. Anak haram yang lahir di luar nikah."

"Yaz, aku enggak gitu, kok. Aku udah tau semuanya, tapi aku enggak jauhin kamu, kan? Jangan jahat-jahat lagi sama aku, ya. Walaupun kita rival."

Diaz menoleh ke arah Dya. Menatap wajah gadis yang sedang merajuk itu. Rasanya lucu sekali, tetapi hatinya menjadi hangat. Seolah salah satu sisi hati Diaz yang selama ini kosong jadi terisi penuh.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa enggak pengen aku jahat sama kamu? Kenapa kamu enggak menjauh setelah tau semua tentang aku?"

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang