#54: Pengakuan Mama

25 7 0
                                    


“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu."

Qs. Al-Baqarah: 216

❤️❤️❤️

Belum pernah rasanya lidah Dya sekelu ini. Bahkan rasanya tak ingin bicara. Namun, apa yang ia lihat dan ketahui tentang papa ketika di Jogja harus ia beritahukan ke sang mama. Meskipun itu rasanya seperti membuka pintu kehancuran untuk keluarganya sendiri.

"Ma, Dya mau ngomong sesuatu?" tanya Dya ragu-ragu malam itu seusai makan malam. Dya mendekati sang mama yang sedang berkutat dengan laptop di ruang tengah.

"Ya, Dy? Penting banget dan harus sekarang?" tanya sang mama tanpa mengalihkan atensinya dari layar laptop.

"Kalau mama lagi sibuk, lain kali aja, deh." Dya hendak berbalik pergi. Hati kecilnya merasa senang karena memiliki alasan untuk menunda pembicaraan serius itu. Namun, hati kecilnya yang lain justru terus mendorong untuk berbuat sebaliknya.

"Sebentar lagi mama selesai. Tinggal meriksa beberapa bahan aja."

Dya tak jadi beranjak. Ia kembali duduk di sofa, di sebelah sang mama. Kala itu ditatapnya sang mama dengan saksama. Dilihatnya rambut sang mama yang di beberapa helainya sudah terlihat putih. Juga beberapa keriput di sudut matanya yang dihiasi kacamata baca. Jika dibandingkan dengan ini wanita yang bersama papanya di Jogja, tentu secara usia sangat jauh dengan mamanya.

Apakah itu alasan papanya meninggalkan sang mama? Hanya karena usia mama tak lagi muda dan kebetulan papa bertemu dengan yang lebih muda? Hati Dya terasa mendidih. Matanya memanas. Hal itu sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehatnya. Ia masih memendam amarah dan kecewa kepada sang papa. Bisa-bisanya bermain di belakang seperti itu selama bertahun-tahun.

"Mau ngobrol apa, Dy? Mama nyambi enggak apa-apa, kok."

"Enggak, Ma. Nanti nunggu Mama selesai aja. Soalnya ini ngobrolnya agak serius. Takut ganggu konsentrasi Mama kerja."

"Soal sekolah kamu?"

"Bukan, Ma."

"Terus, soal sekolah kamu gimana? Kamu bakalan ambil panggilan universitas yang tempo hari dikasih pihak sekolah, kan?" tanya sang mama seraya menatap sekilas Dya lalu kembali ke layar laptop.

"Menurut Mama gimana?"

"Ambil aja kalau jurusan yang kamu mau ada di sana. Kalau jurusan yang kamu mau enggak ada, kamu bisa ke universitas yang lain."

"Aku mau ambil jurusan kayak Mama, boleh?" tanya Dya hati-hati. Pasalnya, itu juga jurusan yang akan diambil oleh Diaz.

Sang mama langsung melepas kacamata dan menghentikan aktivitasnya. Matanya menatap tajam Dya seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dya tahu hal ini akan terjadi, tetapi untuk kali ini saja ia ingin mengikuti kata hatinya. Tak ingin lagi berbuat sesuatu demi seseorang yang ternyata membuatnya kecewa.

"Kamu serius dengan pilihan kamu? Yang bener aja, Dy!" protes sang mama.

"Loh, memangnya kenapa? Ada yang salah dengan pilihan itu, Ma?" tanya Dya tak mengerti.

"Kamu itu pinter, Dy. Juara umum satu angkatan, jurusan IPA lagi. Kenapa harus pilih jurusan Jurnalistik kayak Mama? Untuk sekaliber kamu itu harusnya ambil jurusan kedokteran. Kamu bisa masuk ke sana dengan kapasitas kamu itu. Alangkah sayangnya kalau nanti pada akhirnya kamu cuma jadi jurnalis kayak Mama."

"Tapi, minat aku enggak di situ, Ma." Dya berkata lirih.

"Pokoknya Mama enggak mau tahu, Dy! Kamu enggak boleh kayak Mama. Kamu harus lebih baik dari Mama!" sang mama berkata dengan nada meninggi.

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang