"Senjata paling kuat di bumi adalah jiwa manusia yang terbakar."
---Anonim---
❤️❤️❤️
Hiruk pikuk suara keramaian di lapangan sekolah langsung mereda ketika si kulit bundar yang sejak tadi menjadi pusat perhatian terbang melambung tinggi dan menghilang dari pandangan. Tendangan kuat Aksa dari kotak pinalti berhasil ditepis oleh kiper tim lawan.
Pemuda itu berusaha mengatur napasnya ketika Jonas yang bertindak sebagai gelandang kiri menghampirinya.
"Gila, lo, Sa. Untung enggak kena kaca gedung ekskul." Jonas menepuk pundak Aksa sembari ikut mengatur napas.
Aksa tahu, tendangan tadi terlalu keras. Namun, ia sedang tidak bisa mengontrol emosinya. Desas-desus dan sebaran gosip di sekolah belakangan ini sungguh mengganggu pikirannya. Lalu ia pun melampiaskan kekesalannya itu dengan bermain sepakbola sampai lelah. Merebut bola dengan seruduk sana-sini, mengumpan bola secepat kilat, lalu membombardir gawang lawan dengan tendangan-tendangan super kerasnya.
Aksa tidak lantas menanggapi ucapan Jonas. Ia bergegas ke arah gedung ekskul di ujung lapangan untuk mengambil bola. Tidak sulit menemukan si kulit bundar itu karena ia bisa membaca arah jatuhnya di mana.
Benar saja, si kulit bundar yang Aksa cari tergeletak di antara tanaman hias lorong gedung ekskul. Dekat dengan ruang sekretariat ekskul paskibra. Segera ia ambil bola itu lalu hendak beranjak pergi. Namun, ia menghentikan langkah ketika rungunya mendengar sebuah vokal yang tidak asing. Ia pun pelan-pelan mendekat ke arah sumber suara itu. Di ujung lorong gedung yang letaknya tersembunyi.
Netranya melebar ketika menemukan presensi dua orang yang ia kenal sedang berhadap-hadapan. Sang gadis berdiri menghadap ke arah Aksa mengintip, sementara sang pemuda berdiri membelakanginya. Mereka adalah Diaz dan Ega.
Diaz terlihat baru saja membenahi letak kacamatanya saat Aksa memutuskan untuk tidak beranjak. Ia penasaran dengan apa yang dibicarakan kedua teman sekelasnya itu. Pasalnya pemandangan itu cukup aneh karena setahu Aksa, mereka tidak begitu akrab untuk mengobrol berdua di tempat sepi.
"Jadi, Dya udah daftar mau ikut workshop kepenulisan dan jurnalistik di pekan pers majalah Teenlit?" Diaz mengulangi lagi informasi yang baru saja Ega sampaikan.
Begitu mendengar nama Dya disebut-sebut dalam obrolan itu, Aksa merasa yakin kalau keputusannya untuk tidak beranjak itu sangat tepat.
Terlihat Ega menjawab pertanyaan Diaz dengan anggukan kepala.
"Apa itu penting untuk rencana kita?" tanya Ega kemudian.
Telinga Aksa menajam. Rencana? Rencana apa yang mereka buat untuk Dya? Aksa tidak boleh tinggal diam.
"Penting banget. Apa pun yang Dya lakukan itu penting untuk menentukan langkah strategi ke depannya."
Mereka terdiam sejenak. Diaz sudah akan beranjak dari sana ketika Ega kembali buka suara.
"Soal gosip kamu sama Dya, bukan aku yang nyebarin ke anak-anak lain."
"Itu menyebar dengan sendirinya," jawab Diaz seraya tersenyum simpul. Padahal ia sendiri yang dengan sengaja menciptakan momen itu.
"Kamu yakin strategi berusaha membuat Dya yakin kalau kamu suka sama dia ini berhasil?" tanya Ega ragu.
"Iya. Sudah delapan puluh persen berhasil. Tinggal sedikit lagi aja, konsentrasinya akan buyar."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Ficção AdolescenteAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...