"Ku harap kau tidak melakukan hal bodoh, Harua."
Jungwon terus mempercepat motornya. Dia tidak peduli pada hujan yang mengguyur, bahkan mungkin lupa betapa licin dan berbahayanya jalanan di cuaca seperti ini. Yang ada di pikiran Jungwon sekarang hanyalah bahwa dia harus secepat mungkin sampai di ibukota.
Ada sebuah staf kayu di salah satu sudut ruang tamu rumah Harua. Jungwon mengingatnya dengan jelas karena benda itu cukup menyita perhatiannya.
Tidak banyak penyihir yang menggunakan staf atau tongkat. Biasanya, staf dipakai oleh para penyihir yang berbakat dalam tipe sihir masif seperti sihir ledakan misalnya.
Duarrr!!!
Pada tengah malam berhujan, ledakan besar terjadi di puncak Ivy Tower dan ledakan-ledakan kecil menyusul setelahnya. Suara runtuhnya puing-puing Ivy Tower menggema bersama suara jeritan orang-orang. Di antara kekacauan itu, Harua berjalan dengan langkah kaki yang mantap. Entah apakah itu keberanian atau hanya tekad bodoh yang mengiringinya.
"Kau! Apakah kau yang melakukan ini?"
Sebenarnya Harua datang ke sini semata-mata karena impulsivitas. Dia tidak pernah merencanakan apa yang harus dia lakukan dan bagaimana cara agar dia bisa bertemu dengan orang yang bertanggung jawab atas kematian adiknya.
Robert Ivy Rodia, sang direktur adalah putra sulung dari direktur Ivy Tower sebelumnya. Seorang pria yang memperoleh jabatannya semata-mata karena nepotisme. Penampilannya sama sekali tidak mencerminkan penyihir dari keluarga terpandang. Bajunya tak rapi, ada remahan kue menyangkut di janggutnya yang lebat dan keriting. Kancing-kancing kemejanya tampak berusaha keras menahan beban dari perut buncitnya.
Tidak banyak penyihir terpandang yang pernah Harua temui. Tapi setidaknya, dia selalu bertemu dengan yang terbaik di antara mereka, seperti Jungwon misalnya.
"Kenapa adikku kau biarkan mati?"
Mendengar pertanyaan Harua, Robert terkikik. "Lagipula dia juga akan mati. Apa bedanya bila itu terjadi lebih cepat?"
"Adikku masih kecil. Seharusnya dia bisa hidup lebih lama lagi. Aku ingin melihat dia bermimpi dan bisa meraihnya. Apakah itu berlebihan?"
"Mimpi? Orang sepertimu bicara soal mimpi? Bahkan bermimpi saja tak pantas untuk kecoak dari daerah kumuh seperti kau dan adikmu."
Harua mengacungkan stafnya tepat di hadapan Robert. Sinar berwarna kemerahan berputar di ujung staf itu, bersiap melepaskan satu lagi ledakan yang akan menghanguskan direktur Ivy Tower. Hanya beberapa detik sebelum sihir itu sempurna, Jungwon sampai di sana.
"Harua, hentikan!"
Sihir Harua mati dan tubuhnya jatuh berlutut. Domination bukanlah sihir yang bisa dilawan hanya dengan tekad kuat.
"Kenapa?" Harua bertanya dengan air mata mengalir di pipinya.
"Kau tidak boleh melakukan ini."
Harua menunduk. "Mereka bilang adik saya akan sembuh, tapi bahkan sebelum saya menggunakan uang yang tuan muda pinjamkan, dia sudah tidak bernapas. Apa yang harus saya lakukan? Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi."
"Harua," Jungwon berjongkok, lalu membawa Harua ke dalam pelukannya. "Tidak ada duka yang boleh membawa luka pada orang lain."
Saat Jungwon mengatakan itu, Harua pun menyadarinya.
Bukan hanya gedung Ivy Tower yang hancur, tapi juga manusia-manusia yang ada di dalamnya. Para healer begitu sibuk mengobati pasien yang terluka dan memindahkan mereka ke tempat yang lebih aman. Sementara yang sehat berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri.
![](https://img.wattpad.com/cover/348429128-288-k965560.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
POLARIS: The Academy of Magic | ENHYPEN
FanfictionJungwon menghabiskan hari-hari dengan menghindari penagih hutang yang mencari ayah brengseknya. Ketika Jungwon mulai putus asa akan masa depan, ayahnya memberitahu Jungwon sesuatu yang tak masuk akal. "Ibumu adalah seorang penyihir." !baku!