18 - Jejak (1)

1K 179 0
                                    

Akademi Polaris selalu menyisakan dua jam terakhir pelajaran sebagai waktu untuk belajar mandiri. Di waktu itu, setiap siswa boleh mengasah kemampuannya, mengerjakan tugas, membaca, atau sekedar mengulang kembali apa yang mereka pelajari hari ini.

"Sebelum saya menutup pertemuan hari ini, saya akan mengajari kalian sihir yang baru dikembangkan. Kalian bisa menjadikannya sebagai bahan untuk belajar mandiri nanti," Yeonjun menutup bukunya, lalu mengambil sebatang kapur. "Sihir ini disebut tracing. Sebuah sihir yang bisa digunakan untuk melacak jejak. Tracing baru diresmikan sebagai sihir terapan baru sekitar bulan lalu dan kali ini saya akan mengajarkannya pada kalian."

Yeonjun menyuruh setiap siswa untuk meletakkan apapun di atas meja masing-masing. Jungwon sendiri mengambil sebuah pensil dan mulai memperhatikan arahan dari Yeonjun.

"Setiap benda pasti memiliki jejak pakai oleh seseorang. Entah itu berupa aroma ataupun sidik jari," Yeonjun mengangkat kapur tulis tadi dan berkas sihir yang tampak seperti debu berkilau mulai berputar di sekitarnya. "Saya akan ambil contoh kapur ini. Fokuskan energi sihir kalian pada benda di hadapan kalian. Buat dia menunjukkan sidik jari atau aroma terserah apapun, lalu dengan energi yang cukup kalian akan bisa melihat sumber dari jejak yang ada di sana."

Mengikuti arahan Yeonjun, Jungwon mulai melihat jejak cahaya pada permukaan pensilnya yang pelan-pelan berbentuk serupa sidik jari. Sedikit demi sedikit sesuatu seperti benang yang transparan dan berkilau melayang, menghubungkan pensilnya dengan dirinya. Kemudian, jejak lain menghasilkan benang satu lagi yang terhubung dengan Niki.

"Oh, Niki pernah meminjam pensil ini waktu ujian," gumam Jungwon.

"Seperti yang diharapkan dari siswa Akademi Polaris. Kalian bisa mengerti dengan cepat," kata Yeonjun tersenyum bangga.

Sihir itu hanya mampu bertahan untuk beberapa saat. Segera setelah Yeonjun menyelesaikan kalimatnya, benang-benang jejak itu menghilang.

.

.

Awalnya, Jungwon berniat menggunakan waktu belajar mandirinya untuk mengejar ketertinggalan selama dia sakit. Namun, saat dia melihat amplop surat usang terselip di antara buku catatannya, Jungwon langsung pergi menuju ruangan klub.

"Jungwon, apa yang kau lakukan di jam belajar mandiri?" Jay muncul hanya beberapa menit setelah Jungwon sampai di sana.

"Kak Jay," Jungwon menoleh. "Aku hanya ingin menyelesaikan tugas klubku lebih cepat karena aku mau ada urusan setelah ini."

Jay menatap pada selang-selang dan sabit yang bergerak sendiri. Rupanya Jungwon menggunakan telekinesis untuk mengerjakan pekerjaan kebun.

"Kau bisa pulang kalau kau mau. Lagipula kau juga baru sembuh, Jungwon."

"Tidak apa."

Jungwon mengembalikan perhatiannya pada surat di atas meja. Itu adalah surat anonim yang berisi informasi tentang dirinya dan ibunya. Surat yang membantu kakek menemukannya dulu. Sebenarnya, Jungwon sangat penasaran. Dia ingin tahu semua kisah di balik kematian ibunya. Kalau yang direktur Ivy Tower katakan itu benar, maka ada orang yang mengawasi ibunya selama ini dan ada kemungkinan kalau kematian ibunya juga disengaja.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Jay.

"Aku ingin menemukan pengirim surat ini," Jungwon hanya menunjukkan amplop kusam di tangannya. Dia tidak sebodoh itu untuk memberitahu isi suratnya pada Jay.

"Pakai tracing?"

Jungwon mengangguk. "Benangnya kelihatan jelas, tapi juga cepat hilang. Apa energi sihir yang ku berikan kurang?"

"Masalahnya bukan pada jumlah, tapi kontrol sihirmu" Jay mengambil amplop itu dan mulai menggunakan sihir tracing padanya. "Kalau jejaknya sudah bersinar seperti ini, fokuskan saja pada cahaya yang kau lihat. Tidak perlu menggunakan banyak energi sihir, yang penting kau harus menjaganya tetap stabil."

Sejak pertemuan pertama mereka, Jungwon sudah tahu kalau Jay bukan hanya berbakat, tapi dia juga pintar. Jay terkadang membantu mengerjakan tugas dan memberikan tips belajar yang sangat berguna. Mungkin karena dia seorang elementalis, Jay punya pengendalian sihir yang sangat baik. Tak jarang Jay mengajari Jungwon dan teman-temannya bila ada sihir yang tak mereka mengerti.

Nox bilang, penyihir yang pandai menguraikan formula sihir pasti bisa membuat sihir mereka sendiri. Jay membuktikan itu dengan sihir yang dia ciptakan di ruangan berkebun.

Tidak ada sihir yang bisa mengatur cuaca sebelumnya, tapi Jay berhasil membuatnya sendiri. Sihir cuaca ini juga mungkin tak akan bisa dipakai penyihir lain karena tidak semua orang bisa teken kontrak dengan tiga spirit sekaligus. Hanya Jay yang bisa menggunakan sihir pengatur cuaca seperti ini.

Sihir yang hanya bisa dipakai olehnya, itu terdengar seperti sihir keturunan.

"Kak Jay," Jay menjawab panggilan Jungwon dengan gumaman. "Aku belum tahu nama belakangmu."

"Tidak ada."

"Kenapa?"

Jay terdiam sesaat. "Nama belakang berarti nama keluarga, kan? Karena aku tidak punya keluarga, jadi tidak ada nama belakang."

"Ah, aku minta maaf."

"Jangan minta maaf. Kau membuatku terlihat menyedihkan. Omong-omong, apakah urusan mendadak yang kau katakan tadi adalah kau mau mengikuti jejak surat anonim ini?"

"Iya."

"Kalau begitu, aku akan ikut denganmu. Lagipula sihirku bertahan lebih lama dari punyamu."

Mereka berdua meninggalkan ruangan klub setelah Niki dan Sunoo sampai di sana. Kedua anak itu memaksa ikut, tapi Jay memberikan mereka tatapan maut yang dengan mudah membuat mereka mengurungkan niat.

Benang jejak yang terhubung dengan surat itu ternyata sangat panjang. Hari sudah semakin sore dan mereka masih mengikuti arah benangnya tanpa tahu dimana benang itu berujung.

"Aku belum pernah ke sini, bagaimana kalau kita tersesat?" Jungwon bertanya dengan nada cemas.

Jalan yang mereka tempuh sangat asing. Mereka bahkan sudah melewati kediaman Rochephanta kira-kira setengah jam yang lalu. Arahnya juga berlawanan dengan rumah Jungwon dan ibukota.

Jay mengatakan ini dengan percaya diri. "Meskipun tersesat, pasti ada jalan pulang. Tenang saja. Ini tidak seperti kita akan menyusuri sebuah hutan atau sesuatu."

Namun kenyataannya, mereka malah bertemu dengan akhir dari jalan besar. Ketika langkah kaki mereka mulai memasuki sebuah hutan lebat, Jay mau tidak mau jadi ikutan ragu. "Jungwon, sebenarnya ini surat apa? Bukan dari penjahat atau semacamnya, kan?"

Sejujurnya, Jungwon juga tidak tahu tujuan orang yang memberitahukan keberadaannya pada kakek. Apakah murni membantu ataukah ada udang di balik batu. Kalau memang itu berasal dari penjahat, Jungwon tidak ingin menyeret Jay yang tidak tahu apa-apa dalam masalah ini.

"Sampai sini saja tak apa. Kak Jay pulanglah, sudah mau malam."

"Dan meninggalkanmu sendiri? Kau gila?!" Jay tanpa sadar meninggikan suaranya. "Kalau sesuatu terjadi padamu, kau pikir aku akan bisa hidup tenang, ha?"

Jay membuat sebuah bola cahaya untuk menerangi jalan mereka. Tangannya yang bebas menggenggam tangan Jungwon. Dengan cara itu, dia bisa memastikan Jungwon tetap di dekatnya sekaligus mengatasi rasa takutnya sendiri.

Cukup lama mereka berjalan menembus hutan hingga menemukan sebuah jalan setapak. Mereka menyusuri jalan setapak itu dan berhenti ketika sebuah gerbang besar menghadang.

Gerbang itu berwarna keemasan, berdiri di antara tembok yang tinggi dan tebal. Bangunan di balik gerbang itu terlalu jauh untuk mereka pastikan apakah itu sebuah rumah atau bukan. Akan tetapi, Jay tahu pasti gedung apa yang punya gerbang emas di dunia sihir.

"Sekolah Eden," ujar Jay. "Benangnya mengarah ke sana."



-to be continued-

POLARIS: The Academy of Magic | ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang