Langit biru, udara yang hangat, dan suara gelak tawa yang terdengar di latar belakang. Ujian akhir sekolah telah usai. Para siswa sibuk membicarakan tentang akan melakukan apa saat liburan nanti atau kemanakah mereka akan melanjutkan sekolah setelah ini.
Sisa-sisa waktu yang harus mereka habiskan sebelum berpisah. Itu harus menjadi hari yang bahagia.
Di antara mereka, seorang anak laki-laki berambut hitam mengedarkan pandangannya ke dalam loker. Memastikan mungkin saja ada barangnya yang tertinggal, meskipun agaknya tidak mungkin.
Baik buku atau benda-benda, dia tidak punya sebanyak itu.
"Yang Jungwon, sudah mau pulang?" salah satu siswa menyapa anak itu. "Mau ke warnet bareng? Aku bisa carry kamu kalau kamu baru pertama main LOL."
Jungwon menggeleng. "Enggak, makasih."
"Eyyy... membosankan. Padahal ujian sudah selesai, kau bisa santai sedikit. Omong-omong, mau lanjut sekolah dimana habis ini?"
Untuk sesaat, Jungwon menghentikan gerakannya memasukkan buku ke dalam tas. Dia sendiri berharap kalau dia bisa menjawab pertanyaan itu. Namun, Jungwon hanya tersenyum, lalu pergi begitu saja.
Sejujurnya, Jungwon tidak masalah mau sekolah dimana saja. Sekolah sains, sekolah seni, sekolah biasa, bahkan sekolah penuh berandalan. Manapun itu, dia yakin bisa mengatasinya.
Hanya saja, ayahnya itu brengsek.
"Tolong jangan nongkrong di depan pintu rumah orang," tegur Jungwon dengan nada tegas.
Pria-pria di hadapannya sekarang bukan hanya wajahnya saja yang menakutkan, tapi tubuh mereka juga besar seperti beruang. Terlihat lemah atau kuat akan berakhir sama di tangan mereka.
Jungwon tahu kalau tindakannya ini bodoh, tapi dia sedang benar-benar lelah. Dia ingin segera tidur di atas kasurnya yang tak seberapa empuk itu.
"Kau tinggal di rumah ini?"
"Iya."
Kerah Jungwon ditarik tiba-tiba. Pria itu punya sebuah bekas luka panjang di dekat matanya. Dia berbicara tepat di depan muka Jungwon, membiarkannya mencium aroma mulutnya yang tidak sedap.
Jungwon bertanya-tanya, kapan terakhir kali orang ini sikat gigi?
"Bayar hutangnya, woi! Nunggak berapa bulan ini!"
Jungwon menghela napas. Preman kali ini berbeda dengan preman yang datang minggu lalu. Sebenarnya, dimana lagi ayahnya berhutang?
"Saya tidak ada urusan dengan hutang itu. Tolong lepaskan ini dulu dan saya akan tanyakan pada ayah–"
Buagh!
Pipi Jungwon berdenyut nyeri. Anyir terasa di mulutnya yang sobek. Itu hanya satu pukulan dan Jungwon sama sekali tidak sanggup berdiri.
Preman itu jongkok di depannya dan merenggut helai hitam Jungwon dengan kasar. "Tidak ada urusan? Tahu tidak, kalau ayahmu itu mati, kau yang akan kami kejar."
Brengsek. Brengsek. Brengsek.
Jungwon menyadari kalau situasinya mulai gawat saat preman-preman itu bergantian menendang perutnya yang masih kosong karena belum terisi sejak pagi.
Tempat tinggal Jungwon merupakan sebuah lingkungan apartemen murah dan kumuh di pinggiran kota. Hanya orang-orang miskin dan terbuang yang tinggal di sini. Mereka tidak akan bergerak sedikit pun bahkan bila Jungwon dibunuh di depan mata mereka.
Akan tetapi, Jungwon tidak ingin mati begitu cepat. Dia ingin menjadi seseorang yang bisa dia banggakan.
"Berhenti," suara yang serak keluar dari bibir Jungwon.
![](https://img.wattpad.com/cover/348429128-288-k965560.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
POLARIS: The Academy of Magic | ENHYPEN
FanficJungwon menghabiskan hari-hari dengan menghindari penagih hutang yang mencari ayah brengseknya. Ketika Jungwon mulai putus asa akan masa depan, ayahnya memberitahu Jungwon sesuatu yang tak masuk akal. "Ibumu adalah seorang penyihir." !baku!