"Dan untuk saat ini, ku rasa hanya ada bencana yang sedang menanti kita, Heeseung."
Tidak ada tempat bagi makhluk berbahaya yang mengancam dunia sihir. Di mata Heeseung, Jungwon sekarang telah berubah dari siswa lemah yang cukup sombong dan ceroboh untuk menantangnya duel menjadi entitas yang harus dilenyapkan sesegera mungkin. Heeseung tidak mati-matian melindungi dunia sihir untuk dihancurkan oleh seorang bocah SMA.
Heeseung tidak menunggu Jungwon datang kepadanya. Dia mencengkeram kerah seragam Jungwon dan mulai memukulnya berulang kali hingga darah menghiasi buku-buku tangannya.
"Maaf, ya, tapi aku tidak bisa membiarkanmu hidup," kata Heeseung.
Hidung Jungwon patah dan lebam mulai memenuhi wajahnya. Semuanya terasa semakin memudar. Telinga Jungwon berdenging. Samar-samar, Jungwon mendengar Niki memanggil namanya dan suara Sunoo yang menjerit di sisi lapangan.
...henti!
Berhenti!
Tepat sebelum Jungwon kehilangan kesadaran, dia mendengar suara tamparan menggema.
Plakk!!
"Sudah ku bilang berhenti, kan!"
Tangan Heeseung yang memukuli Jungwon berhenti, lalu beralih menyentuh pipinya yang terasa panas. Heeseung berkedip beberapa kali, takut-takut kalau dia sedang salah lihat. "Beomgyu?"
Beomgyu menunjuk Yeonjun dan berteriak, "Sir, bukankah kau harus menghentikan duel ini sekarang juga? Kau mau anak ini mati?"
"O-oh," Yeonjun gelagapan. Setelah ia mengembalikan kewibawaannya dengan satu deheman canggung, Yeonjun mengangkat tangan. "Duel selesai! Pemenangnya Heeseung Charlotte!"
"Beomgyu, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Heeseung.
"Lepaskan!" Beomgyu menarik tubuh Jungwon dari Heeseung yang kelihatannya masih linglung. Dia mengisyaratkan pada Niki dan Sunoo –satu-satunya yang masih bangun dari puluhan siswa di sana untuk segera membawa Jungwon ke ruang kesehatan.
Dengan bantuan Sunoo, Niki menggendong Jungwon di punggung. Saking parah luka Jungwon, Niki sampai bisa merasakan darah merembes ke seragamnya. Niki memejamkan mata untuk menahan amarahnya yang sudah sampai ubun-ubun. Sungguh, Niki sedang menyusun ratusan kalimat umpatan untuk Jungwon kalau dia bangun nanti.
Niki menoleh pada Sunoo yang wajahnya penuh dengan ingus dan air mata. "Berhentilah menangis. Bukan kamu yang dipukul. Tidak perlu menangis sampai segitunya."
Selalu. Niki selalu memberikan komentar dingin seperti itu. Sunoo sudah hendak memarahinya lagi, tapi dia sadar kalau mereka tidak punya waktu untuk itu.
Mempertimbangkan keadaan Jungwon yang mengkhawatirkan, akhirnya mereka berlari menuju ke ruang kesehatan. Sebelum mereka benar-benar meninggalkan arena, Beomgyu memanggil nama Sunoo dan mengembalikan relik berbentuk tombak itu kepadanya.
"Terima kasih, kak. Ayo cepat," ajak Sunoo dan Niki pun mengangguk.
Sambil berlari, Niki sempat menoleh ke belakang. Dia melihat Heeseung dan Beomgyu masih di sana saling berdebat satu sama lain.
"Kau bajingan tengik, ikut aku!" Beomgyu menjewer telinga Heeseung, lalu mereka menghilang begitu saja.
Mereka hilang seolah masuk ke dalam sebuah ruangan melalui pintu yang tak kasat mata. Banyak pertanyaan memenuhi kepala Niki, tapi dia pikir dia harus menundanya untuk saat ini.
.
.
Jungwon terbangun di sebuah ruangan yang familiar; langit-langit kamar yang penuh bintang hasil kreasi tangannya di kelas kerajinan alat sihir dan selimut putihnya yang halus. Jungwon bersyukur dia bangun di tempat yang benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
POLARIS: The Academy of Magic | ENHYPEN
FanfictionJungwon menghabiskan hari-hari dengan menghindari penagih hutang yang mencari ayah brengseknya. Ketika Jungwon mulai putus asa akan masa depan, ayahnya memberitahu Jungwon sesuatu yang tak masuk akal. "Ibumu adalah seorang penyihir." !baku!