41

8.1K 512 6
                                    

Deru nafasnya yang panjang tidak membuat Ella berhenti menatap layar ponselnya.

Berita tentang pembunuhan berantai itu kini mulai di muat di publik agar semua orang berhati-hati. Berita itu meliputi data korban, tempat terakhir korban berada dan tempat ditemukannya korban.

"Kasihan mereka," gumam Ella.

"Apa yang bisa kulakukan untuk membantunya? Seharusnya aku bisa membantu Alex dan teman-temannya." ucap wanita itu seraya menggeser layar ponselnya kemudian memutuskan untuk menutupnya.

"Dokter Ella, apa kamu mau?" tanya Vero menyodorkan makanan pada Ella.

Ella tersenyum dan menghampiri mereka.

"Ini," ucap Vero membuka kotak makanan baru yang berisi mie dan potongan sosis juga nugget.

Ella menutup mulut dan hidungnya karena aromanya yang terasa aneh.

"Kamu tidak suka? Biasanya kamu tidak pilih-pilih makanan. Apa ada yang lain, Rel?" kata Vero. Dia mengembalikan kotak itu dan meminta yang baru pada Farel.

Ella menekan perutnya yang tiba-tiba bergejolak tidak karuan. "Aku tidak lapar, kalian makan saja." ucap Ella. Dia berlari meninggalkan mereka.

Dia memasuki kamar mandi dan mengeluarkan semua isi perutnya.

Setelah merasa lebih baik, dia membersihkan diri dan menatap wajahnya di cermin. "Seharusnya aku tidak kehujanan lagi." gumamnya. Wanita itu pun keluar dari sana.

"Dokter Ella, ini jadwal pemeriksaan pasien Vania." ucap seorang perawat menghampirinya.

Ella mengangguk dan berjalan menuju kamar pasien.

Dia melakukan pemeriksaan berkala terhadap pasien kecilnya yang masih terlelap itu. Setelah menyalin data, dia kemudian keluar dan duduk di ruang tunggu.

"Aku mudah lelah akhir-akhir ini. Sepertinya aku butuh latihan dan olahraga kembali." ucapnya sembari melakukan peregangan ringan pada lengannya.

Dia menatap Adrian yang melangkah ke arahnya sembari memakan roti. "Apa yang sedang kamu makan?" tanya Ella.

"Roti abon. Mau?" kata Adrian dan Ella mengangguk cepat.

"Tapi aku tidak ada yang baru. Aku belikan sebentar." ucap Adrian namun Ella langsung menggeleng cepat.

"Aku mau itu saja," ujar Ella.

"Aku sudah menggigitnya." tolak Adrian.

Ella menggeleng lagi. "Tapi aku mau itu, pinggirannya saja." ucap Ella dengan mata berbinar-binar.

Adrian menatap Ella bingung. "Suamimu bisa membunuhku jika tahu tentang ini." tolak Adrian seraya menggeleng.

"Ada apa?" tanya Daffin yang baru datang.

Ella menatap suaminya. "Aku mau itu, Daffin. Dia tidak mau memberikannya." adu wanita itu terdengar seperti anak yang merengek.

Daffin menatap Ella kemudian menatap Adrian.

"Dengar dulu! Dia meminta ini dan aku tidak punya yang baru, aku sudah menggigitnya." jelas Adrian takut-takut jika Daffin berpikiran negatif tentangnya.

"Kita beli yang baru ya, sayang." ucap Daffin seraya duduk di sebelah istrinya.

"Sudahlah! Aku tidak mau lagi." kesal Ella dan langsung berdiri. Baru hendak melangkahkan kakinya, dia langsung jatuh pingsan. Dengan sigap dan khawatir Daffin menahannya.

Mereka pun membawa Ella ke ruangan pasien.

"Kamu sangat berlebihan. Tenanglah!" ucap Adrian pada Daffin yang terlihat khawatir dan gugup.

Dokter Maya kembali masuk keruangan Ella dengan senyuman manis.

"Dokter Ella baik-baik saja. Selamat kalian akan menjadi orangtua, dia hamil." ucap Maya.

Daffin tersenyum bahagia dengan apa yang dia dengar. Dia langsung memeluk tubuh istrinya yang masih tertidur pulas.

"Terimakasih, Ella." ujarnya menciumi kening Ella.

"Selamat bro!" ucap Adrian turut bahagia.

"Usia kandungannya delapan minggu. Dokter Daffin bisa mengajak dokter Ella untuk pemeriksaan lebih lanjut." kata Maya pada pria itu.

"Delapan minggu?" ulang Daffin dan Maya mengangguk.

"Pantas saja dia selalu melakukan hal aneh akhir-akhir ini. Dan Daffin, kamu harus lebih memahaminya lagi. Dulu saat ibuku hamil adik bungsuku, dia mengidam hal-hal aneh. Bayangkan ibuku meminta ayahku untuk membelikannya granat!" ucap Adrian.

"Benarkah? Bukankah itu berbahaya?" tanya Daffin khawatir.

"Ibu hamil itu indah, tingkah aneh adalah salah satu bagiannya, ayahku yang mengatakannya. Aku akan pergi!" ucap Adrian dan meninggalkan mereka berdua, dia keluar bersamaan dengan Maya.

Daffin menatap Ella yang mulai bangun. "Merasa lebih baik, sayang?" tanya Daffin.

Ella mengangguk dan duduk dengan perlahan.

"Kita akan menjadi orangtua." ucap Daffin mengelus perut datar Ella kemudian  menatap lekat wajah istrinya.

Ella mengerjapkan matanya berulang kali mencoba mencerna apa yang baru dia dengar.

"Kamu hamil, sayang. Kita akan menjadi orangtua." ujar Daffin dan mendaratkan ciuman di kening Ella.

"B-benarkah? Aku hamil?" tanya Ella menyentuh perutnya.

"Mm. Baby kita baru delapan pekan." jawab Daffin dengan senyuman bahagianya.

"Kenapa menangis?" Daffin panik saat istrinya malah menangis.

 "Aku senang dan bahagia. Tapi bagaimana jika anak kita mewarisi mataku?" tanya Ella sesegukan.

Daffin memeluk istrinya dan mengusap punggung wanita itu. "Anak kita akan baik-baik saja. Dia akan kuat seperti mommy nya." jawab Daffin. Dia memeluk erat tubuh istrinya itu dengan bahagia, lalu mendaratkan ciuman berkali-kali di wajahnya.

Close Your Eyes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang