43

7.6K 470 0
                                    

"Dimana aku meletakkan yang tadi?" gumam Ella mencari-cari diantara surat-surat yang dia pegang. Dia berdecak kesal saat surat-surat itu malah berjatuhan.

Saat hendak memungutinya, tiba-tiba rekan-rekannya langsung mengambil surat yang tercecer itu.

"Terimakasih teman-teman," ucap Ella.

Hana dan Adrian mengangguk sambil tersenyum.

"Apa aku bisa mengelusnya?" tanya Hana semangat.

"Masih datar." kata Ella seraya menerima surat-surat itu.

"Sebentar saja." pinta Hana.

Dia pun mengelus perut Ella saat wanita itu mengangguk setuju. "Aku sangat tidak sabar untuk melihatnya." ucap Hana semangat.

"Sekarang lepaskan atau kamu akan kehilangan pekerjaan mu! Bisa saja seseorang sedang memata-matai kita." ujar Adrian seraya menatap sekitar.

"Aku mengerti!" decak Hana.

Dia menatap Ella dengan senyuman khasnya."Jadi bagaimana rasanya menjadi ibu hamil? Aku ingin hamil juga!" tanyanya bersemangat.

"Menikahlah dulu!" kekeh Ella. Dia melanjutkan langkahnya dan meninggalkan mereka di sana.

Baru ingin masuk ke lift, Evans langsung memanggilnya.

“Kak Evans!” Ella berlari dan langsung memeluk kakaknya.

"Kenapa kamu berlari? Kamu tidak boleh begitu, Ella!" kata Evans memperingati adiknya yang terlalu bersemangat itu.

"Kakak sudah tahu, ya?" kekeh Ella.

Evans tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja," jawabnya sambil memeluk erat adiknya itu.

"Halo baby kecil. Ini uncle Evans, nanti om ajarin cara menembak dengan senjata api." ucap Evans.

"Apa? Kakak gila, ya?" ucap Ella segera menepis tangan kakaknya dan mengelus perutnya sendiri.

"Aku bercanda. Biarkan aku menyapa keponakanku lagi," kekeh Evans. Dia seharusnya tidak mengatakan itu, meski niatnya memang sesuai dengan apa yang dia katakan. Adik perempuannya itu belum tahu siapa dia sebenarnya.

Evans menyodorkan paper bag kepada wanita itu. "Aku ada hadiah untukmu." ucapnya.

Ella menerimanya dan membuka kotak itu. Isinya adalah kalung berlian yang berkilau bewarna merah, itu membuat Ella mengulum senyumnya.

"Terimakasih, kak.” ucap Ella memeluk Evans.

Evans mengangguk dan mengelus kepala adiknya dengan lembut. "Awalnya aku ingin membelikan mu   model baru bewarna biru gelap itu, tapi Daffin bilang dia sudah membelikannya untuk mu." ujar Evans.

Ella mengangguk. "Aku mengenakannya." Wanita dengan senyuman manis itu memamerkan kalung yang dihadiahkan suaminya semalam.

Evans mengangguk. "Yang kakak belikan dipakai juga, ya," katanya.

"Apa menurut kak Evans, anakku akan melihat hantu juga?" tanya Ella tiba-tiba.

Evans mengangguk. "Bisa saja keponakanku akan menjadi pemburu hantu." jawab pria itu.

"Ahk! Jangan bilang begitu!" kesal Ella tidak terima.

Evans menatap adiknya itu. "Kenapa? Daffin punya hawa yang membuat para hantu itu takut, dan kamu punya kemampuan untuk melihat mereka. Aku juga bisa mengajari si bayi cara bertarung,” ujar Evans.

"Enak saja! Aku tidak mau!" tolak Ella. Dia melotot pada pria yang terkekeh itu.

"Hahaha! Baiklah, sekarang apa yang ingin adik manjaku ini makan? Aku akan mengabulkan semua permintaan mu hari ini." kata Evans.

"Mm... steak, ayam goreng, kentang goreng, dan es buah. Aku juga mau mango iced tea." jawab Ella membuat kakaknya menggeleng.

"Baik, tuan putri. Apa kita perlu mengajak Daffin juga?" kata Evans.

Ella mendekati kakaknya. "Tidak. Dia tidak akan mengizinkan ku memakan es." bisik wanita itu.

"Kamu pikir aku tidak mendengarnya, sayang?" ujar Daffin yang ternyata sudah berdiri di sana. Ella tidak menyadari kedatangannya barusan.

Ella tersenyum dan cengingisan.

"Aku ikut, baru kamu boleh makan es. Tapi hanya kali ini, oke?" ucap Daffin dan istrinya mengangguk setuju.

Mereka pun memutuskan untuk segera pergi ke restoran terdekat.

Sesampainya di sana, mereka mulai menikmati makan siangnya.

Evans menatap Ella yang pergi ke toilet dan mengangkat tangannya agar para pengawalnya itu mengawasi.

"Ada apa, kak?" tanya Daffin. Dia melihat Kaka iparnya yang memasang wajah waspada itu.

"Pesan anonim itu dikirim lagi. Setiap aku melacaknya, aku hanya bisa menemukan ponsel usang yang dibuang ke tong sampah." jawab Evans pelan.

"Aku mengerti, kakek juga sudah pernah membahasnya. Kakek mengirimkan pengawalan ketat dan itu membuatku sedikit lebih tenang." ucap Daffin.

Evans menghela nafasnya. "Ini salahku. Seharusnya Ella tidak terlibat." gumam pria itu.

"Aku akan menjaga Ella dengan baik." balas Daffin serius.

Evans tersenyum dan mengangguk. "Aku percaya padamu, Daffin. Jaga adikku dengan baik."

Selang beberapa saat Ella kembali. "Apa yang kalian bahas?" kata wanita itu setelah duduk di kursinya.

Dia menatap kedua pria itu dan berbisik, "aku menyapa hantu di kamar mandi tadi, dia bilang dia meninggal karena seseorang meracuninya. Kopinya diberi sianida. Kasihan!"

"Benarkah? Seharusnya kamu tidak menyapanya,” ucap Evans membalas cerita adiknya itu.

"Kenapa?" tanya Ella.

"Karena dia hantu?" tanya Evans balik seraya menatap serius wanita itu.

"Maaf, kak. Tapi, ehh... dia istriku, bisakah kamu berhenti mengelus Ella?” ucap Daffin cemburu melihat kakak iparnya yang tidak berhenti mengelus kepala istrinya.

Evans tertawa. "Baiklah. Kamu mendapatkan orang yang tepat, Ella. Suamimu pecemburu,” kekehnya.

Close Your Eyes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang