Farel histeris menutup kedua telinganya, Arial menggenggam erat tangan Farel menaruhnya ke samping supaya tidak digunakan untuk memukul telinganya sendiri.
"Sakit banget! Tolong!!" Farel memberontak, berguling tidak nyaman di atas brankar.
Sia-sia Arial menenangkan anak itu jika sekarang dia sudah brutal tidak terkendali. Sembari menunggu dokter yang menyiapkan jarum suntik, Arial hanya bisa menahan pergelangan tangan Farel yang mengepal kuat.
Farel terlihat tidak bisa mengontrol emosinya, dia ketakutan bak dikejar setan.
"Al! Bawa gue pergi dari sini!"
"Bawa gue pergi, Al!"
"Gue pengen pulang! Mana Ayah! Panggilin Ayah! Ayah tolongin Farel, Ayah!!"
"Rel apa yang lo liat sekarang nggak nyata! Bangun Rel! Lo harus bisa kuasain diri lo!" Arial menjawab dengan mata lebar.
"AYAH! AYAH FAREL TAKUT!!"
Dokter menyingkap lengan atas Farel, kemudian segera menusukkan jarum suntik yang berisi obat bius.
"LEPASIN GUA! LEPAS!"
"Lepasin gua ...." Gerakan Farel melemah.
"Lep...pasin..." Penglihatan Farel menggelap, Farel mulai memejamkan matanya dan saat itu Farel sudah tidak sadarkan diri.
Arial mengusap rambutnya ke belakang, dia terduduk pada kursi di sebelah brankar Farel sembari menunduk. Ia tidak tau harus berbuat apa untuk membantu Farel, karena menyangkut nyawa.
Arial memandang hp nya dengan tatapan kosong. Perlukah memberi tau Jovan tentang permasalahan besar yang sedang menimpa Farel?
Hendak menekan panggilan pada nomor Jovan, Arial langsung teringat akan janji yang sudah dia ucapkan kepada Farel. Arial menaruh hp ke tempat semula.
"Mas punya nomor orang tua yang bisa dihubungin?" tanya dokter.
Arial nampak melamun.
"Mas?" Dokter menepuk pundak Arial.
Arial tersentak kemudian mengerjapkan mata.
"Bisa dihubungin orang tuanya?" tanya dokter.
"Dia teman saya, dok. Saya nggak tau nomor hp orang tuanya," sahut Arial bohong.
"Coba cari di hp, pasti pasien punya hp kan?" Dokter menunjuk Farel yang tertidur pulas.
"Saya nggak tau kata sandi hp temen saya ini, saya saja yang menjadi wakil dari orang tuanya, dok. Saya bersedia," kata Arial.
"Maaf, ini bukan permasalahan sepele. Saya ingin menanyakan kondisi pasien kepada orang tuanya, gejala tadi menunjukkan pasien mengalami gangguan mental, mereka harus segera mengambil tindakan sebelum terlambat."
"Iya dok saya tau dia memang mengalami gangguan mental, tapi untuk sekarang saya tidak bisa menghubungi orang tuanya. Setelah teman saya sadar, saya akan bawa pulang dia, saya bertanggung jawab kok dok," ujar Arial.
"Bagaimana kamu mau bertanggung jawab kalau tadi saja kamu tidak mampu menghadapi temanmu ini. Kalian masih anak-anak, kamu tau kan rumah pasien? Beri tau orang tuanya lalu sampaikan anaknya sedang dirawat di rumah sakit ini," timpal dokter berdebat.
"Dok mohon kasih kami pengertian, saya kenal baik sama teman saya. Setelah dia benar-benar tenang, saya anterin ke rumah."
Membujuk dengan berbagai alasan, akhirnya dokter menyetujui orang tua Farel tidak perlu dipanggil ke rumah sakit.
Arial menelpon dokter rumah sakit jiwa, dia bercerita kepada dokter Ivan mengenai kondisi Farel sekarang. Hanya Arial yang tau Farel sedang berobat pada Psikiater, Jovan hanya terus-terusan kasihan tanpa berani mengambil tindakan. Sedangkan Ranum memanjakan Farel tanpa juga mengambil tindakan. Setiap Arial menyerukan Farel harus berobat mereka malah menentang dan menyuruh Arial diam berhenti menyinggung kejiwaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stepbrother✔️ [Tamat]
قصص عامةArial dan Reyndra merupakan saudara kembar. Ayah mereka meninggal dunia sejak dua tahun silam, seiring berjalannya waktu bunda menikah dengan seorang duda yang memiliki putra bernama Farel. Pada suatu hari Arial sedang bersama Reyndra lalu terjadil...