bab 33

16 5 0
                                    

Danu menatap wajah Mira dengan seksama. Entah mengapa saat ia menatapnya hatinya merasakan sesuatu yang lain. Baru sedikit dekat saja sudah berdebar-debar. Sejujurnya ia mengagumi perempuan itu. Ia terpesona olehnya. Hanya saja ia sedikit heran, kok bisa? Padahal ini bukan kali pertama ia bertemu dengan gadis cantik. Ia punya banyak sekali teman perempuan yang tidak kalah jelitanya. Tapi ia merasa biasa-biasa saja.

    "Pulang jam berapa dari karang tanjung?" Dari rumah om Iwan maksudnya.

    "Jam delapan." Sahut Mira.

    "Diantar, apa pulang sendiri?"

    "Diantar om kamu."

    "Maaf gak bisa jemput."

    "Enggak apa-apa, lain kali jangan diulangi!Memangnya semalam kamu kemana?"

Belum sempat pertanyaan itu dijawab, Tiba-tiba saja perhatiannya teralihkan pada suara ringtone didalam saku celana.

Panggilan seluler datang dari  bogel yang ingin memberitahukan keberadaan Reymon. Dia sudah mendapat info mengenai keberadaannya.

Danu berdiri sambil menggenggam telpon. Dari gerak-geriknya seperti ingin menjauh dari Mira.

Mira menatap sinis. Curiga. Seperti tahu apa yang akan dilakukan Danu.

    "Mau kemana?"

    "Ngangkat telpon, bentar."

    "Kenapa harus menjauh? Memangnya telpon dari siapa?"

Danu tak menghiraukan ucapannya. Dia tetap menjauh darinya.

Beberapa langkah menjauh dari Mira, dan memastikan tak mendengarnya, barulah Danu menjawab telponnya.

    "Gel, ada apa?" Danu menyapanya lebih dulu. Nada suaranya lemah. Mulutnya ditutupi telapak tangan.

    "Dimana?" Bogel mempertanyakan keberadaannya. Danu tidak bisa langsung menjawab. Dia mempertimbangkan jawabannya dahulu. Sebab kalau jujur si bogel bisa bertanya-tanya.

    "Woy, lagi dimana nih?" Bogel mengulangi pertanyaannya dua kali dengan lebih menekan.

    "M... Di-di-menes." Jawabnya mengibuli.

    "Dirumah ente?"

    "Iya. Ane tadi balik, mau ganti baju dulu. Udah dapet kabar belum mengenai si bos?"

    "Dia pergi ke Jakarta. Kerumah ayahnya."

    "Dapat info dari siapa?"

    "Dari ibu ane. Tadi sudah si bos sempat pamitan."

    "Yasudah kalau begitu."

    "Yah, ane cuma mau ngasih tau doang! Takutnya ente masih nyariin."

    "Ok ok, thanks infonya."

Keberadaan Reymon sudah diketahui. Ternyata dia minggat ke Jakarta kerumah ayahnya. Dia ingin menenangkan diri di sana. Sampai semuanya kembali kondusif. Sebelum pergi ia sempat berpamitan pada orangtuanya bogel. Tapi tidak pada ibunya sendiri.

Sehabis adu suara dengan bogel dalam telpon, Danu kembali menghampiri Mira, lalu duduk disampingnya.

    "Telpon dari siapa?" Tanya Mira kepo.

    "Si bogel."

    "Temanmu?"

    "Iya."

    "Mau apa?"

Danu tak menjawab. Dia merasa tidak semuanya bisa dijelaskan. Tak semuanya Mira harus tahu. Terkadang beberapa hal harus dipendam dan disembunyikan.

    "Ada apa nu? Keliatannya dari semalam sibuk amat?"

Diamnya Danu seharusnya bisa dipahami oleh Mira.  dia tidak ingin menceritakan kepadanya. Sekalipun dia orang terkasih.

    "Nu~?" Mira menyebut namanya setelah melihatnya terdiam.

Danu menoleh malas bersama alis sebelah terangkat.

    "Kenapa?" Tanya Mira mengulangi.

Danu menggelengkan kepala, menegaskan tidak ada apa-apa.

Mira terdiam setelah beberapa pertanyaannya tak mendapat tanggapan. Ia mulai bingung mesti ngapain? harus nanya apalagi? Keadaan membuatnya jadi kikuk.

    "Ada saatnya dimana kamu boleh tahu. Dan Ada saatnya juga kamu tidak boleh tahu. Saya ingin kamu menikmati bagian-bagian yang menyenangkan nya saja."

    "Kamu mah aneh. Kayak bunglon. Suka berubah-ubah. Kadang romantis, kadang kritis, kadang menyebalkan, kadang menyenangkan."

    "Tapi suka 'kan?"

    "Suka dan tidak suka itu soal rasa. Aku hanya menikmati seadanya. Tidak meniru mereka yang punya segalanya. Sejak ibuku berharap kamu jadi menantunya, aku selalu bertanya pada tuhan, ibadah mana yang pahalanya adalah dirimu?"

    "Ibumu mengharapkan saya jadi menantunya?"

    "Benar."

    "Alasannya?"

    "Karena dia yakin, Kamu orang baik."

    "Jangan berekspektasi terlalu tinggi! Saya hanya manusia biasa. Yang Bisa kapan saja mengecewakan. Entah itu dari perkataan maupun perbuatan. Saya bukan orang baik. Saya hanya orang yang sedang belajar menjadi baik."

Rasanya aneh jika hanya dengan mengobrol dua insan saling jatuh cinta. Tapi itulah kenyataannya. Jika sepasang manusia sudah saling menyukai, mereka tidak akan bisa menyembunyikan ketertarikannya. Ada koneksi energi yang membuat nyaman. Obrolannya tidak terlalu canggung. Justru mengalir dengan baik dan selalu saja ada hal menarik untuk dibahas. Mereka mudah sekali bercanda seakan sudah mengenal sangat lama.

    "Gimana rasanya menginap dirumah om Saya?" Tanya Danu lain topik.

    "Enggak gimana-gimana. Mereka baik kok. Malahan nyuruh kapan-kapan main lagi kesana!"

    "Giliran saya mah yang nginep di sana, wuh subuh-subuh sudah digedor. Trus habis sholat subuh gak boleh tidur lagi! Disuruh nyapu lah, ngepel lah, nyuci baju lah, olahraga lah, euh.. pokoknya rempong deh. Sudah seperti kolonial Belanda saja."

    "Itu bagus tahu. Supaya kamu disiplin. Oh iya, ada pesan dari mereka untukmu.!"

    "Pesan apa? Warisan? He he."

    "Om dan tante mu ingin tahu bagaimana tanggapan kamu mengenai  kuliah dan pekerjaan yang pernah ditawarkan beberapa hari lalu? Mau apa tidak?"

Mengingat tawaran kerja dari om Iwan disebuah redaksi, Danu jadi teringat pada nasib ibu Sarah. Hanya karena berita miring di media massa membuat kehidupan orang lain jadi berantakan. Danu jadi ilfil mau jadi wartawan. Karena menurutnya Mereka tidak mengedepankan kebenaran. Tetapi mengutamakan keuntungan.

    "Tak dijawab sekarang, tak apa 'kan?" Kata Danu saat tak ingin menjawabnya.

    "It's ok. Jawab dihadapan om dan tante mu saja! Aku mah hanya menyampaikan doang." Balas Mira tak memaksa. Kalau mau dijawab langsung ya silahkan! Kalau tidak juga ya tidak apa-apa.

Saking merambatnya sebuah topik pembicaraan, tanpa sadar mereka sudah satu jam diwarung ce eem. Dan hampir melupakan tujuan utamanya.

    "Ngomong-ngomong, jadi enggak nih kerumah mantan pak sekuriti?" Tanya Mira setelah ingat.

    "Jadi atuh. Kalau enggak jadi mah ngapain saya kesini?"

    "Yasudah hayu!"

    "Iya iya."












Tirakat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang