Leni membawa Mira kesebuah kedai lord of the wings di jalan Raya labuan km 4 saruni. Letaknya tidak jauh dari simpang empat Maja. Di kedai itu Mereka duduk sambil menumpangkan sebelah kakinya. Leni membebaskan Mira untuk memesan apa saja yang dia mau. Urusan bayar akan ditanggung olehnya.
"Mira, kalau boleh tahu Danu suka memanggil mu dengan sebutan apa? Soalnya dia rada-rada absurd. Suka mengganti nama orang sembarangan. Aku saja dipanggilnya lenong. Beni dipanggil Bejo. Si Irfan dipanggil bogel. Kacau dia mah."
Sebelum menjawab pertanyaan Leni, Mira sempat tertawa. Ia setuju kalau Danu memang absurd.
"Awal-awal ketemu dia memanggil ku dengan sebutan Mak Lampir. Tapi semenjak akrab dia memanggilku Mira. Kadang disingkat jadi Ra."
"O... Kirain manggilnya sayang. He he." Timpal Leni diwarnain canda.
Mira tersenyum lagi. Sebenarnya ia juga berharap demikian, bisa dipanggil sayang oleh Danu. Namun sepertinya Danu belum kepikiran sampai kesana.
"Kenapa dia bisa memanggil mu Mak Lampir?"
"Karena saat itu dia belum tahu namaku. Dan mengganggap aku ini galak, jutek, dan menyeramkan. Pertama kali bertemu dengannya aku memang jutek. Kalau ngomong suka asal jeplak. Habisnya dia sangat menyebalkan. Belagu pula. Kalau ditanya jawabnya ngawur."
"Kalau itumah jangan ditanya lagi. Dia memang rese. Tidak pernah mau mengalah saat bicara. Ngomong-ngomong gimana kronologinya kalian berdua bisa bertemu?"
"Memangnya Danu gak pernah cerita ke kamu?"
Leni menggelengkan kepala kekiri dan kanan beberapa kali.
"Mana ada dia cerita. Aku tahu kalian dekat saja dari adiknya. Pernah aku tanya ke Danu, "gimana ceritanya bisa ketemu Mira?" dia menjawab begini, "ceritanya sangat panjang. Saking panjangnya gimana kalau enggak usah diceritakan lagi." Kan nyebelin. Aku mah serius pengen tau, eh dia malah begitu. Mangkanya sekarang aku cari tahu dari kamu."
"Danu memang benar, ceritanya sangat panjang, saking panjangnya gak bisa diceritakan lagi. He he."
"Waduh sebelas duabelas nih sama Danu."
Mira tertawa terbahak-bahak mendengar komentar Leni.
Meskipun mereka baru pertamakali dipertemukan, tetapi tidak ada rasa canggung dari keduanya. Tidak ada rasa kikuk didalamnya. Malahan mereka bisa langsung berinteraksi dengan baik. Bisa membuat suasana menjadi cair. Mungkin karena topik pembicaraannya yang sejurus.
"Mira, apa benar kamu cemburu ketika melihat aku dan Danu berpelukan? Kalau benar berarti fix kamu mencintainya."
Belum juga Mira menjawab pertanyaan Leni yang awal, namun Leni sudah menimpalinya dengan pertanyaan yang lain. Mira jadi bingung harus menjawab pertanyaannya yang mana dulu? Ia pun lebih tertarik menanggapi pertanyaan leni yang baru.
"Aku tak tahu Len, apakah aku ini sudah jatuh cinta atau belum kepadanya. Aku tidak mengerti tentang cinta. Tapi saat aku melihat kalian berdua berpelukan, ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan. Ada rasa kecewa yang tak bisa diungkapkan. Padahal aku dan Danu hanya sekedar kenal tanpa ada ikatan. Sekedar dekat tapi aku takut kehilangan. Saat aku cemburu, cermin berkata siapa dirimu? Cemburu tanpa memiliki. Tersakiti sebelum mempunyai. Mengakui tanpa bukti."
Jawaban Mira cukup panjang. Butuh beberapa saat bagi Leni untuk bisa memaknainya. Kata-katanya cukup rumit, hingga sulit dimengerti.
"Bay the way Danu kemana nih?" Tanya Mira kemudian.
"Enggak tahu tuh anak. Seharian ini enggak ada kabar. lagi galau kali."
"Lagi galau? Galau kenapa tuh?" Timpal Mira sambil senyam-senyum sendiri.
"Ya kenapa lagi kalau bukan mikirin kamu. Selama aku kenal sama Danu, aku belum pernah melihatnya segalau ini. Dia selalu happy. Selalu ceria. Hampir tidak pernah punya masalah dalam hidupnya. Tapi akhir-akhir ini aku sering melihatnya merenung, Seakan tak bergairah. Ketika aku tanya "apa penyebabnya?" Dia jawab "karena perempuan." Dan perempuan yang dimaksudnya itu adalah kamu. Dari situ aku mulai berpikir, secantik apa perempuan yang sedang dipikirkannya itu? Seistimewa apa? Sehingga membuatnya tergila-gila. Aku sempat berpikir kalau Danu terkenal guna-guna."
"Ih Leni, ada-ada saja kamu ini. Tidak ada yang hebat dariku. Tidak ada yang istimewa juga. Aku hanya seorang perempuan biasa yang tak luput dari kekurangan. Bukan guna-guna yang dapat meluluhkan hatinya, mungkin doa ibuku-lah yang mengguncang langit."
"Ibumu suka mendoakannya?"
"Iya. Dia mengharapkan Danu jadi menantunya."
"Wih jadi buronan mertua tuh si Danu. Terus kamu menanggapinya gimana?"
"Disamping harus patuh pada orang tua, aku juga bersedia menjadi istrinya. He he."
"Bisa AE kamu Ra."
Satu minuman classic hot chocolate dan bubble milk tea hampir habis dalam gelas. Leni melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lebih. Hampir jam setengah sepuluh. Tak terasa waktu bergerak begitu cepat. Padahal perasaan barusan jam delapan, eh sudah malam aja. Sebenarnya masih banyak yang ingin dibicarakan oleh Leni, tapi ia takut mengganggu waktunya Mira.
"Ra, gimana kalau besok kita ketemuan lagi? Soalnya masih banyak cerita yang ingin aku sampaikan padamu. Jika semuanya diceritakan malam ini, waktunya tidak cukup. Bisa-bisa sampai pagi disini."
"Besok enggak bisa. Soalnya aku mau menemui ibuku checkup di rumah sakit."
"Ibumu sakit?"
"Iya."
"Sakit apa?"
"Penyakitnya sudah komplikasi. Harus rutin checkup setiap satu bulan sekali."
"Berarti besok kamu gak masuk ponpes dulu dong?"
"Iya, aku sudah ijin."
"Kalau begitu nginep di rumah ku saja yuk!"
