"Bismillahirrahmanirrahim." Sebelum meneguk minumannya Danu berdoa terlebih dahulu dalam hati. Sebab ia tidak tahu minuman itu halal atau haram. Baik atau tidak untuk dirinya. Dia hanya bisa memasrahkan semuanya kepada dzat yang maha tahu, allah al'aliim.
Menyantap secangkir teh hangat dan ubi jalar dalam suasana hujan memang terasa nikmat dan menyenangkan. Danu jadi teringat zaman dahulu waktu masih kecil. Dimana setiap kali ia berkunjung kerumah kakek-neneknya, ia sering disuguhi makanan-makanan tradisional seperti goreng pisang, goreng singkong, kukus ubi, combro, serabi, pancong, dan masih banyak lainya makanan-makanan klasik yang hampir punah seiring berkembangnya zaman.
Si nenek tersenyum memandangi wajah Mira. Dia seperti lagi membaca pikirannya. Dia juga bisa meneropong masa depannya. Hanya saja ia tidak mau membocorkan nya.
"Neng, gelis, Saha Namina?" Tanya si nenek pada Mira.
"Mira, nek."
"Meni Alus nami teh. Sami sareng rupana. Timana asal na?" Si nenek memuji nama mira yang bagus, sesuai dengan parasnya yang cantik. Ia juga menanyakan alamatnya dari mana.
"Ti Carita, nek."
"Lembur Carita mah, caket laut sanes?"
"Muhun, Tapi rada kalebet dei."
Pandangan si nenek bergeser kearah Danu. Dia tersenyum tat kala membaca isi pikirannya. Dia tahu apa yang ada dibenak Danu saat itu. Danu punya prasangka buruk terhadapnya. Bahkan menganggapnya kuntilanak.
"Ai Ujang teh, Saha Namina?"
Pertanyaan si nenek tak mampu dicerna oleh Danu. Dia tak sadar bahwa si nenek sedang bertanya kepadanya.
Mira menyikut bodinya, mengingatkannya bahwa si nenek sedang bertanya.
"Sut, ditanya tuh!" Bisik Mira ditelinga Danu.
Danu menoleh kearah Mira.
"Nama kamu, siapa katanya?" Ucap Mira mengulangi pertanyaan si nenek.
"O... Nama saya Danu." Jawab Danu sambil melirik kearah si nenek.
Kelakuan Danu yang sering bengong ditertawakan si nenek. "Ihihihihi." Si nenek tahu apa yang sedang dilamunkan nya.
"Ujang, jadi jalmi teh tong gaduh prasangka buruk! Emangna nenek katingali siga kuntilanak Tah? Hente sakabeh anu menyeramkan eta membahayakan. Inget! Pertolongan Gusti Allah teh, bisa Timana wae jalana!"
Seketika itu juga Danu terhenyak dan tersipu malu. Bagaimana tidak? Isi pikirannya mampu terbaca oleh si nenek. Hal itu semakin menambah keyakinannya bahwa si nenek bukanlah orang sembarangan. Dia sejenis paranormal, atau dukun.
Danu tidak banyak berinteraksi dengannya. ia lebih banyak diam, lebih banyak mengisap rokoknya. Beda dengan Mira yang begitu interaktif bertanya kesana-kemari.Sebenarnya semua percakapan di rumah itu menggunakan bahasa Sunda, hanya saja penulisannya agak ribet. Maka kita langsung translate saja kedalam bahasa Indonesia.
"Nek, kalau boleh tahu, nama nenek siapa?" Tanya Mira dalam lanjutan percakapannya.
"Nyai buyut antisah." Jawab si nenek memperkenalkan namanya.
"Nyai buyut antisah." Spontan Danu dalam hati mengulangi namanya. Ia berusaha mengingat nama itu. Buat nanti dipertanyakan pada warga dibawah.
"Nenek tinggal sama siapa disini?" Timpal Mira kembali.
"Sama si kakek. Ki buyut Sariman."
