menapaki jalan pulang

17 4 0
                                    

Hujan di hari itu sangat awet seperti ditaburi sebuah formalin. Sang Surya telah masuk kedalam peraduannya. Merubah dunia dari terang menjadi gelap. Entah harus menyebutnya dengan kata apa? Suka atau duka? Yang jelas, cerita di kampung domba telah usai.

Selepas sholat magrib, Danu dan Mira sepakat memutuskan untuk pulang.

    "Kek, nek, kami tidak tahu harus dengan cara apa membalas kebaikan kalian berdua? Yang bisa kamu berikan hanyalah ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya. Terimakasih telah mengijinkan kami singgah disini. Terimakasih juga atas apa yang sudah kalian suguhkan kepada kami. Semoga Allah membalas kebaikan itu.!" Ucap Mira sebelum pamit dikala semuanya dalam keadaan berdiri.

    "Jangan risaukan caranya membalas Budi! Justru, kehadiran kalian di sini saja sudah membuat hati kami terhibur." Balas si nenek sambil memeluk tubuh Mira.

Mereka pun melangkah keluar dari rumah itu di iringi si nenek dan kakek.

    "Suatu saat nanti, salah satu diantara kalian akan datang kesini lagi!" Tempat beberapa langkah setelah melewati pintu, lagi-lagi si kakek mengeluarkan ramalannya. Dia menyebut salah satu diantara mereka akan datang ketempat itu lagi. Hanya salah satunya saja.

    "Insyaallah, kek. Kalau ada kesempatan, kita mampir lagi kesini." Sahut Mira dengan sumringah.

Si kakek senyum terenyuh. Sebenarnya ia tahu siapa orang yang dimaksudnya itu. Wajahnya seolah-olah menegaskan, bukan kamu orangnya, tetapi lelaki yang ada disamping mu.

Danu menadahkan telapak tangannya setinggi dada. Menampa air hujan yang jatuh dari langit. Hujannya tak begitu deras, juga tidak benar-benar reda. Hanya Rinai kecil,  yang kalau mengenai baju, cepat atau lambat akan basah.

    "Gimana, nu? Masih hujan gak?" Tanya Mira.

    "Cuma gerimis kecil.  Enggak apa-apa, kita pulang saja!"

Si kakek mencabut golok dari serangkanya. golok tersebut ia pergunakan untuk menilas tiga pelepah daun pisang. Dua pelepahnya dia berikan kepada Danu dan Mira. Sedangkan yang satunya untuk dirinya sendiri. Daun pisang itu akan mereka jadikan payung penedah air hujan.

Kepulangan Danu dan Mira diantar oleh si kakek. Selain mengarahkan jalannya, si kakek juga bertindak menerangi jalannya, dengan membawa lampu petromaks. Lampu ala-ala zaman dulu yang menggunakan bahan bakar minyak tanah.

Si kakek berjalan di depan, Mira di tengah, dan Danu paling belakang. Puluhan langkah telah dilalui. Jalannya hanya fokus kedepan, tanpa menoleh kesamping, apalagi kebelakang. Saat itulah rumah yang mereka singgahi tadi berubah bentuk menjadi pohon beringin besar. Dimana batang pohonnya dilingkari akar-akar liar. Tempat dibawah pohonnya terdapat dua makam besar yang ditandai dengan tumpukan batu. Itu adalah Makam Ki buyut Sariman dan NYI buyut antisah. Serta dua belas makam kecil lainnya disekitar makam tersebut.

Ki buyut Sariman dan NYI buyut antisah, konon katanya sudah meninggal ratusan tahun yang lalu. Makamnya pun dikeramatkan. Sering dikunjungi para peziarah, baik lokal maupun non lokal. Kebetulan sekali Danu dan Mira bertemu langsung dengan Shohibul maqbaroh nya. Itu berarti mereka tadi berada di dimensi yang lain.

Sesampainya diujung perkampungan, tiba-tiba saja si kakek menghentikan langkahnya.

    "Sampai disini saja, kakek mengantarkan kalian."

Berhubung rumah warga sudah terlihat, dan lampu bohlam nya menerangi jalan, mereka tidak merasa keberatan tanpa si kakek.

    "Yasudah kek, enggak apa-apa. Makasih ya, sudah menemani kami!"

Akhirnya mereka pun berpisah dengan si kakek.

   ....

Didepan rumah dimana sepeda motor Danu terparkir sejak tadi siang, beberapa orang tengah berkerumun, saling berbincang mempertanyakan pemilik dari motor tersebut. Hampir semua orang yang ada disana tidak tahu itu motor siapa? Tidak ada yang mengenalinya. Dan mereka yakin, motor itu bukanlah punya warga setempat.

Tak berselang lama, Danu dan Mira muncul hendak mengambil motornya. Para warga yang melihat keberadaan mereka pun langsung menahannya. Karena Sosok mereka terlihat asing dan mencurigakan.

    "Siapa kalian?" Tanya salah satu warga mengintrogasi.

Mira mulai tegang, takut dihakimi.

    "Saya Danu. Dan ini teman saya, Mira." Jawab Danu dengan tenang.

    "Habis darimana kalian?" Sambung tanya warga lebih diskriminatif. Mereka curiga dua pasangan itu telah berbuat mesum.

    "Kami adalah seorang mahasiswa, ditugaskan datang kesini untuk menganalisis tempat yang nantinya akan kami jadikan buat KKN. Sejak tadi pagi, kami sudah melakukan elaborasi dibeberapa tempat disini. Berhubung kami ingin tahu lebih jauh kampung domba itu seperti apa? Maka tadi siang kami naik ke lereng gunung karang. Sayangnya kami terjebak hujan. Dan terpaksa berteduh di rumah Ki buyut Sariman dan NYI buyut antisah. Akhirnya kami jadi kemaleman seperti ini." Beber Danu mengarang cerita. Hal itu sengaja dilakukan agar tak dicurigai yang macam-macam.

Untungnya para warga tidak sampai menanyakan kartu tanda mahasiswanya kepada Danu. Coba kalau sampai ditanyakan? Mungkin akan ketahuan lagi berbohongnya. Warga percaya begitu saja kalau mereka seorang mahasiswa. Tetapi para warga tidak percaya kalau muda-mudi itu habis berteduh di rumah Ki buyut Sariman dan NYI buyut antisah.  mereka tahu, kedua tokoh tersebut sudah lama meninggal. Dan hanya ada makamnya saja di tari kolot.

    "Yang bener saja kalian berteduh dirumah Ki buyut Sariman dan NYI buyut antisah? Berteduh di makamnya kali? He he." Ujang salah satu warga mengolok-olok. Dan yang lain menertawakan.

Tak terima di olok-olok seperti itu, Mira pasang badan, membantu memperkuat statement Danu.

    "Sumpah demi Allah, kami tidak berbohong! Kami memang singgah dirumahnya. Dan bertemu langsung dengan orangnya. Kakek dan nenek itu sangat baik. Menjamu kami dengan teh hangat dan ubi jalar. Bahkan mengajak kami makan bersama dan sholat berjamaah. Si kakek juga mengantarkan kami turun sampai kesini."

Sebagian warga mulai ada yang percaya. Karena tidak menutup kemungkinan mereka bertemu dengan Ki buyut Sariman dan NYI buyut antisah, Meski keduanya sudah meninggal. Konon, kedua tokoh itu dikenal memiliki ilmu laduni. Dan sebagian warga yang lainnya masih tidak mempercayainya.

    "Hey anak muda! Ki buyut Sariman dan NYI buyut antisah itu sudah lama meninggal. Kami saja yang asli orang sini, tidak pernah tahu rupa mereka seperti apa." Ucap salah satu warga yang masih tidak percaya.

    "Urusan percaya dan tidak percaya itu soal hati nurani. Tidak apa-apa tak percaya juga! Yang jelas, kami hanya mengatakan apa adanya.  Darimana kami bisa tahu nama kedua tokoh itu? Jika bukan dari mereka sendiri yang mengatakannya? Mereka juga bilang memiliki dua belas orang anak! Dan semua anak-anaknya meninggal waktu masih kecil."

Para warga yang mendengar pertanyaan Danu pun dibuat terdiam. Ucapannya itu dirasa masuk akal. Dan mereka tidak bisa membantahnya lagi.

Danu permisi pada semua yang ada disana. Sekaligus meminta maaf karena tak sempat ijin menunda motornya.

Danu membuka bagasi untuk mengambil satu stel jas hujan dan kanebo. Jas hujannya ia serahkan kepada Mira. Sedangkan kanebonya ia pakai mengeringkan jok yang basah.

    "Ini untuk apa?" Tanya Mira ketika diberi jas hujan.

    "Norak. Yang begituan saja tidak tahu. Itu namanya jas hujan."

    "Aku juga tahu, ini namanya jas hujan. Yang aku tanyakan kenapa kamu menyerahkannya kepada ku? Kamu sendiri bagaimana?"

    "Jangan pikirkan saya! Saya kan pakai jaket."

Tirakat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang