bab 40

23 4 0
                                    

Headlamp berwarna kuning menyala, tapi tidak mampu menyorot jauh, Karena terhalang kabut putih yang tebal. Itu terjadi karena Kondensasi molekul uap air mengembang di udara, mengalami proses pengembunan hingga membentuk sebuah kabut.

Sepanjang jalan terlihat begitu sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas dari arah berlawanan. Hanya Bising suara jangkrik dan nyanyian kodok yang menghiasi perjalanan pulang malam itu.

    "Kamu jangan mengambil cinta dari rabb-nya! Sungguh, kamu tidak akan mampu."

    "Ini ada hubungannya dengan mimpi burung yang kamu alami. Burung yang cantik dalam mimpi mu itu melambangkan dia."

    "Suatu saat nanti, salah satu diantara kalian akan datang kesini lagi!"

Kata-kata yang keluar dari mulut si kakek masih terngiang-ngiang dalam ingatan Danu. Dia yang tengah mengendarai sepeda motornya, terus-menerus berpikir mencari artikulasinya. Kata-katanya itu bagaikan sebuah peringatan. Kesannya tidak boleh jatuh cinta kepada Mira. Dan Mira ditafsirkan sebagai burung dalam mimpinya. Jika memang benar burung itu melambangkan dia, maka suatu saat nanti Danu akan kehilangannya.

Rintik hujan terus berjatuhan mengenai tubuh. Semakin lama rasa dinginnya semakin merasuk kedalam tulang. Daya tahan tubuhnya yang lemah terhadap rasa dingin mulai menggigil. Ia menyesal tidak memakai jas hujannya. Sekarang ia jadi bingung sendiri memikirkan nasibnya yang entah bagaimana. Mau berhenti dulu memakai jas hujan, tapi kadung terlanjur. Semua pakaiannya sudah basah. Dipakai pun akan percuma.

    "Kamu kedinginan yah?" Tanya Mira saat merasakan getaran di tubuhnya.

    "Enggak." Sahut Danu sambil menggelengkan kepala mengelak.

    "M.... Bohong...! Buktinya menggigil.?"

    "Itu bukan karena rasa dingin. Melainkan sebuah kode minta dipeluk!"

    "Mulut mu memang pandai berdalih, tapi tidak dengan bahasa tubuh mu." Tanpa berpikir panjang,   saat itu juga Mira langsung melingkarkan tangannya di perut Danu. Serta meletakkan dagunya diatas pundaknya.

    "Gimana, sudah terasa hangat apa belum?" Tanya Mira sambil memandangi wajahnya lewat kaca spion.

    "Sudah, tapi rasa dinginnya juga masih ada. Jadi panas-dingin nih, he he. Tadi tuh saya cuma bercanda lho. Kenapa kamu menganggapnya serius?"

    "Biarin, biar semesta tahu! Bahwa rasa dinginnya tidak mampu mengalahkan hangatnya pelukanku."

    "Saya yakin, malam ini kamu tidak akan bisa tidur nyenyak."

    "Kenapa?"

    "Karena wajah saya akan selalu terbayang-bayang dalam pikiranmu. Dan besoknya kamu akan bilang, kamu telah jatuh cinta!"

    "Tidak perlu menunggu sampai besok! Sekarang saja aku sudah jatuh cinta."

    "Oh ya? Cepat amat? Kapan terasanya? Dan kenapa baru bilang sekarang?" Pertanyaan Danu berentetan. Bunyinya sengau. Seperti sudah tak kaget lagi, ketika mendengar pengakuan Mira telah jatuh cinta kepadanya.

    "Terasanya baru beberapa hari. Awalnya aku heran. Kenapa aku bisa jatuh cinta kepada makhluk seperti dirimu? Dan kenapa aku baru menyatakannya sekarang? Karena tadinya aku menunggu. Menunggu mu yang menyatakannya duluan. Tapi sayangnya kamu tak se-gentlemen seperti yang aku kira. Kamu tak lebih dari seorang pengecut."

    "Dih, kenapa nyalahin saya?"

    "Ya karena kamu gak mau ngungkapin duluan."

    "Apa yang mau saya ungkapin? Saya kan belum jatuh cinta."

    "Fix, berarti kamu anomali."

    "Lho, kok gitu?"

    "Pokoknya setiap lelaki yang tidak menyukaiku, maka aku anggap anomali."

    "Ahahaha." Danu tertawa terbahak-bahak mendengar celetukannya yang konyol.

    "Kamu mah aneh. Orang yang tidak menyukai malah dianggap anomali. Dasar egois. Justru lelaki yang menyukai kamu-lah lelaki yang tidak waras mah. Secara, kamunya juga kan tidak waras. Hi hi."

Dalam hati Mira sedikit kecewa, lantaran ia merasa Danu tidak mencintainya. Padahal semua itu bohong. Bohong jika Dia tidak mencintainya. Dia hanya bercanda, hanya mempermainkannya.

    "Kadang, sulit bagiku untuk mengungkapkan sesuatu yang ingin aku ungkapkan. Padahal tidak ada orang lain yang mendengarnya. Hanya antara kau dan aku saja. Tapi itu sangat sulit, meskipun cuma satu kata."

    "Apaan sih? Gak jelas amat?" Tukas Danu mengganggu konsentrasinya.

    "Diam dulu atuh! Jangan main potong aja! Nanti aku lupa lagi kata-katanya." Timpal Mira komplain, setelah ucapannya dipotong.

    "Ok ok, silahkan dilanjut!"

    "Kata-katanya tidak banyak, hanya satu, yaitu terimakasih. Terimakasih telah menjadi mataku, saat aku tak dapat melihat dunia luar. Terimakasih telah menjadi mulutku, saat aku terbungkam oleh kesendirian. Terimakasih juga telah menjadi telingaku, disaat suaraku tak ada yang mendengarkan. Dulu, aku tidak pernah punya mimpi. Tapi saat aku tatap matamu, langit mendadak biru. Saat itulah mimpiku baru dimulai."

    'krikk Krik krikk.' bunyi suara jangkrik menggantikan suara Mira yang berhenti. Danu tak bereaksi sedikitpun. Sengaja diam agar membuatnya kesal.

    "Woy, Danu?"

    "Apa?" Sahut Danu dengan nada menyentak.

    "Kok diam sih? Mana apresiasinya?"

    "Apresiasi untuk apa?"

    "Untuk kata-kata ku yang puitis barusan. Aku ngapalinnya berhari-hari lho."

    "O... Yang Tadi tuh kata-kata puitis? Saya kira lagi ngigo."

    "Ah kamu mah gak asyik orangnya." Mira merengek manja, setelah kata-kata puitis nya tidak mendapat apresiasi dari Danu.

Perjalanan pulang yang diisi dengan canda romantisme, ternyata tanpa terasa membuat laju kendaraannya sudah memasuki jalan perkotaan. Gerimis memang sudah mereda. Tapi baju mereka basah kuyup. Rasa dingin yang terus ditahan oleh Danu sejak dari tadi, menyebabkan aliran darahnya sedikit tersumbat. Daya tahan tubuhnya mulai turun. Enzim dalam otaknya mengalami kesulitan bekerja.

Pandangan Danu pun mulai agak siwer. Kepala terasa pusing dan nyut-nyutan, seperti ditusuk-tusuk jarum. Ia khawatir tepar di jalan, sebelum mengantarkan Mira pulang ke asramanya. Mira tak tahu apa yang sedang dirasakan olehnya. Ia rasa semuanya baik-baik saja. Padahal tidak.

Memasuki jl. Jendral Ahmad Yani. Tepatnya di pasar badak Pandeglang. Tiba-tiba saja Mira menepuk pinggang Danu, dan memintanya agar berhenti! Seketika itu juga Danu menurunkan kecepatan motornya. Dan menepikannya ke kiri.

Didepan sebuah toko baju mereka berhenti. Lalu Mira turun. Dan mengajaknya untuk turun!

    "Ayo nu, turun dulu sebentar!"

Danu tidak tahu untuk apa Mira mengajaknya turun? Mau kemana? Dan mau ngapain? Awalnya ia tidak mau turun, ia ingin di motor saja menunggunya. Namun Mira tetap memaksanya, bahkan sampai menarik-narik tangannya segala. Maka mau tidak mau, ia pun harus mengikuti kemauannya, meski sedang tidak enak badan.

Tirakat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang