ungkapan sebuah rasa pada titik temu part 3

15 1 0
                                        

Avanza itu terus melaju, tanpa terasa telah sampai di RSUD berkah Pandeglang, di jalan raya labuhan km 5 Cikoneng. Rumah sakit umum Daerah bertipe C. Hanya ada satu dan satu-satunya di kabupaten Pandeglang. Kalau klinik dan puskesmas memang banyak. Tapi fasilitasnya tidak memadai. Untuk penyakit yang berat tidak bisa ditangani. Harus dirujuk kerumah sakit yang besar. Maka tak heran jika masyarakat Pandeglang selalu mengeluhkan minimnya pelayanan kesehatan. Sudah cuma ada satu, tempatnya pun jauh pula. Dari rumah Mira saja jaraknya mencapai 50km.

Hujan masih berlangsung. Didalam mobil cuma ada satu payung. Sedangkan dari tempat parkir ke pintu entrance rumah sakit lumayan jauh. Jika memaksakan turun dan berjalan kesana, maka pakaian pun akan basah kuyup. Danu sadar tidak mungkin hujan-hujanan. Ia yang baru sembuh tak mau sakit lagi.

Danu merayap kebelakang mengambil payung di bagasi. Dan benar saja payungnya cuma ada satu. Mau dipakai oleh dia sendiri tapi kasian sama Mira. Mau dikasih ke Mira tapi bagaimana dengan dirinya. Mau dipakai berdua takutnya Mira gak mau. Danu jadi bingung sendiri. Akhirnya dia pun blak-blakan juga. Mengakui kalau payungnya cuma ada satu.

    "Ra, payungnya cuma ada satu. Gimana nih?" Tanyanya meminta pendapat.

    "Gimana apanya?" Sahut Mira belum mengerti.

    "Mau siapa yang pakai?" Timpal Danu lebih spesifik.

    "Kamu aja yang pakai! Kamu kan fobia sama air hujan. Nanti kalau sakit gimana? Aku lagi yang disalahin." Balas Mira seperti emak-emak.

    "Enggak ah enggak." Danu tidak setuju dengan pendapatnya. Bagaimana pun ia merasa tak enak hati. Apa kata orang nanti? Bisa-bisa dikatain tega. "Kalau saya yang pakai, terus kamu gimana? Kalau kita pakai berdua saja gimana? Biar romantis gitu. Kamu enggak keberatan kan?"

    "Edi bagus tuh. Tapi jangan jadikan kesempatan bisa meluk-meluk aku ya!"

    "Kalau pengen gimana?"

    "Nikahin dulu!"

Mira tak merasa keberatan jika harus berada dibawah payung berdua dengannya. Ia dan Danu akan berjalan berdampingan. Itu dianggap lebih baik daripada hujan-hujanan.

Hujan itu tidak selalu dianggap sebagai bencana. Kadang bisa menjadi anugerah. Karena hujan mereka bisa bermesraan. Dua insan yang dulu angkuh terhadap cinta, kini telah bertekuk lutut dibawah naungannya.

Dalam langkahnya Mira tidak begitu meluaskan pandangannya kesana-kemari. Ia lebih banyak menatap kearah wajah Danu. Dimana dalam hatinya penuh berandai-andai, 'andai saja setiap hari mereka selalu bersama, mungkin dia tidak akan mengenal kata sedih.' ia menganggap jika setiap hari selalu bersama Danu, maka dirinya akan selalu bahagia. Padahal belum tentu.

    "Bu, lihat nih! Anak ibu datang bersama siapa. Sama Danu Bu. Laki-laki yang selalu ibu doakan jadi menantu ibu. Sekarang Mira ikut memperkuat doa ibu. Semoga saja ditengah guyuran hujan ini Allah mengabulkan doa kita. Aamiin." Mira tak bisa membayangkan betapa bahagianya ibunya saat tahu dirinya datang bersama Danu.

Setetes air hujan mengalir di jari-jari payung lalu meniti jatuh ke wajah Danu. Mira yang melihatnya segera mengusapnya. "Aih hujan, kamu jangan jatuh ke dia. Dia mah lemah. Jatuhnya ke aku saja!" Kata Mira saat menghardik setetes air hujan yang jatuh ke Danu.

    "Lebai." Suara Danu mengomentarinya tingkahnya.

Sebelum sampai ke pintu utama rumah sakit Mira sempat memperingati Danu.

    "Jika nanti ketemu sama ibuku, kalau dia ngomong apa saja jangan dihiraukan!"

    "Memangnya kenapa?"

Tirakat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang