Waktu terus bergerak, melepas pagi memutar mentari. Tidak lagi terlelap dan terus bermimpi. Melainkan terbang menuju cinta tanpa haus rasa duniawi.
Pagi yang panjang tanpa secercah cahaya. Dibawah langit berkabut, rintik hujan berselimut. Avanza itu terus melaju. Danu dan Mira duduk berdua didalamnya, dengan tekanan AC 18 derajat Celcius. Harusnya hal itu menjadi momen yang tepat untuk mencurahkan segenap isi hati melalui kata demi kata. Bukan diwakili dengan lirik lagu romantis yang di play dari head unit dalam mobil.
Terhitung sejak masuk mobil dari rumah Leni tadi, Danu belum mengeluarkan sepatah kata apapun. Ia asyik sendiri bernyanyi mengikuti alunan lagu sambil joget-joget santai.
Mira juga belum mengucapkan sepatah kata apapun. Meski sebenarnya dia tahu saling berdiaman itu tidak mengenakkan. Yang bisa ia lakukan hanyalah menjentikkan jarinya. Ia sengaja tak bermain ponsel. demi menghargai Danu.
'sttt... Hrggg.' Mira mendesis menggigil. Memberi kode agar dirinya mendapat perhatian Danu. Namun sayangnya Danu tak meresponnya. Danu malah cuek bebek. "Huh." Dalam hati Mira bersorak. "Payah kamu NU. Gak peka." Sebenarnya Mira mengharapkan adanya sebuah konteks interaksi. Bukan saling berdiaman seperti itu sehingga menjadikan suasananya teramat melankolis. Mira ingin ditanya. Ingin di perhatikan. Ingin di sanjung-sanjung.
"Kenapa Danu diam saja ya? Apa ada perkataanku yang salah barusan?" Suara hati Mira setelah melihat sikapnya yang dingin.
Danu menatap tajam kedepan. Pokus terhadap jalan. Maklum dia sedang mengemudikan mobil. Jadi harus ekstra hati-hati. Apalagi berkendara ditengah-tengah guyuran hujan lebat. Mira kerap mencuri pandangan darinya. Sesekali Danu menoleh kearahnya. Saat itu pula Mira membuang pandangannya seolah-olah dirinya sedang tidak memperhatikan Danu.
"Nu." Sapa Mira mengawali. sudah tak kuat menahan unek-uneknya.
"Hem." Sahut Danu singkat tanpa menoleh.
"Kamu ngambek?" Timpal Mira.
Danu langsung memutar kepala kearahnya. "Ngambek kenapa?"
"Ya siapa tau saja ada celotehan ku yang tidak mengenakkan dihatimu."
Danu tertawa 'ha ha ha.' ia tak menyangka, diamnya disalahartikan oleh Mira.
"Jika tidak marah, lantas kenapa kamu diam saja?"
"Diamku bukan karena marah, tetapi masih kepikiran sama pahamu yang mulus itu."
Seketika itu juga Mira menarik nafas dalam-dalam. "Astaghfirullah hal adzim, Danu otakmu mesum banget." Ia tak menyangka diamnya Danu ternyata sedang membayangkan pahanya yang mulus. Ia tak terima insiden itu terus diingat-ingat. Lantas mencubit perutnya sambil mengatai Danu "si otak mesum."
"Saya juga tidak mengerti kenapa otak saya selalu terbayang-bayang pada pahamu terus."
"Kalau lemah iman memang begitu, pikirannya selalu ngeres. Mangkanya harus banyak-banyak beristighfar! Biar pikirannya jernih dan enggak mesum kayak gini."
Danu paling pintar membuat sebuah twist. Ia bisa merubah suasana dalam seketika. Yang semula hening jadi riuh.
"Bohong atuh Ra, saya tidak sedang memikirkan pahamu. Itu hanya guyonan saja." Danu mengelak, tak mau Mira merasa dilecehkan.
"Serius juga gak papa kok. Aku tidak marah. Itu sifat manusiawi. Lagian aku yang salah, keluar cuma pake handuk. Jujur, belum pernah ada lelaki manapun yang pernah melihat rambut dan pahaku sebelumnya. Baru kamu doang. Mangkanya kamu harus tanggung jawab!"
"Dih gila, baru ngeliat segitu doang disuruh tanggung jawab. Kalau melihat tanpa sengaja itu tidak dosa. Itu namanya rezeki."
"Iya, tapi jangan diingat-ingat terus! Nanti jadi dosa. Itu aibku."
"Ya gimana ya, itu bagaikan pemandangan yang paling menakjubkan buat saya. Pokoknya pemandangan di kampung domba mah kalah sama pemandangan tadi pagi."
"Masih ada yang lebih menakjubkan lagi lho daripada itu."
"Apa tuh?"
"Ada deh. Mau liat?"
"Mau-mau."
"Tapi ada syaratnya."
"Apa syaratnya?"
"Nikahin aku dulu! He he."
"Jika menikahi mu hanya sekedar ingin melihat tubuhmu yang seksi, itu namanya nafsu. Sedangkan nafsu adalah kendaraannya syaiton. Jangan coba-coba menggodaku ya! Imanku masih tipis. Setipis tisu."
Mira tersenyum. Dalam hatinya hanya bisa berkata, "Danu bisa ae."
"Oh iya saya hampir lupa, semalam Leni cerita apa saja?" Kata Danu berganti topik. Ia penasaran dengan apa yang Leni ceritakan semalam. Jangan-jangan menceritakan semua keburukannya lagi.
"Uh banyak. Ceritanya sangat panjang. Dimulai dari jam delapan malam, berhenti-henti jam empat dinihari. Itupun belum semuanya di ceritakan. Dia baru menceritakan masa-masa SMP doang. Dari ceritanya itu ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan padamu."
"Gimana kalau enggak usah di tanyakan lagi!" Sahut Danu menyebalkan. Belum apa-apa ia sudah melarang Mira mengajukan pertanyaan.
"Pokoknya aku mau bertanya." Balas Mira Keukeh.
"Gimana kalau saya gak mau jawab?"
"Aku paksa."
"Kalau saya melawan?"
"Aku nangis."
Mereka berdua pun tertawa. Mendengar tektokan yang konyol.
"Kata Leni, kamu tuh memiliki kepribadian yang introvert. Aku berusaha tidak memperdulikannya. Mau siapapun kamu, mau seperti apapun dirimu, aku tetap menyukainya. Hanya saja ada rasa khawatir, karena seorang introvert itu biasanya diam-diam menghanyutkan. seorang pemikir yang intelek. Pengamat yang tajam. Dan penganalisis yang handal. Orang introvert cenderung misterius. Bisa jadi manipulatif. Bahkan ekstrim nya bisa menjadi seorang psikopat. Jangan-jangan kamu psikopat juga ya?"
Di Katai seorang psikopat oleh Mira, Danu melotot. Tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Ia menyebut Mira ada-ada saja. Enggak kira-kira menganggapnya seorang psikopat. Tapi Danu menanggapinya dengan senyum. Dengan penuh canda.
"Sadis amat menganggap saya psikopat. Kalau saya seorang psikopat sudah saya culik kau dari muka bumi ini. Terus saya sekap untuk dijadikan bulan-bulanan. He he. Tapi tidak menutup kemungkinan sih saya menjadi seorang psikopat, tergantung dengan siapa lawan mainnya."
"Kalau lawan mainnya aku, gimana?"
"Gimana apanya?"
"Bisa enggak?"
"Bisa apa?"
"Bisa kali dinikahin mah."
"Ayo! Kapan maunya?"
"Kalau hari Minggu gimana?"
"Hari Minggu enggak bisa. Soalnya ada Doraemon. Hi hi."
Entah ada apa dengan otak Mira saat itu. Setiap kata yang dilontarkannya selalu mengandung ajakan menikah. Danu tak tahu apakah pernyataannya serius atau tidak. Ia menganggapnya hanya guyonan semata. Padahal Mira serius. Hanya saja ia mengemasnya dalam bentuk lelucon.
"Yakin berani menikahi ku?" Kata Mira mulai lagi.
"Siapa takut." Sahut Danu masih menganggapnya bercanda.
"Kalau beneran berani, dirumah sakit nanti kebetulan ada orangtua ku, gimana kalau kita minta dinikahkan saja?"
Danu terdiam. Ia baru sadar bahwa ajakan Mira tidak main-main. Ia yang tak punya nyali langsung menarik kata-katanya kembali.
"Enggak secepat itu juga atuh. Apalagi saya ini hanya seorang penganggur. Apa yang mau kamu harapkan dari saya?"
"Memangnya kenapa kalau kamu pengangguran? Takut gak bisa menafkahi ku? Bukankah rezeki sudah diatur sama Allah? Jadi kamu tidak perlu takut kita kelaparan! Cukup aliri saja aku dengan air mu."
"Aliri air? Air apa?"
"Air kehidupan. He he."
