sihir kampung domba

27 5 0
                                    

Sesungguhnya bukan semata-mata karena cuaca yang menjadikan hari itu tampak memesona. Bukan semata-mata karena sihir matahari yang menakjubkan. Akan tetapi, lebih daripada itu. Yang membuat segala yang dipandangnya menjadi indah, adalah karena musim semi sedang bertandang di hatinya. Matahari kebahagiaan sedang bersinar terang disana. Bunga-bunga sedang menebar wanginya. Tembang-tembang cinta mengalun di hatinya. Memperdengarkan irama terindahnya. Dan penyebab itu semua tak lain dan tak bukan karena dia. Yang dimatanya memiliki keindahan bak bunga mawar putih sedang merekah.

Acara jalan-jalan hari itu mulai berlangsung segera,  setelah Danu dan Mira selesai menunaikan shalat Dzuhur di masjid agung Pandeglang. Keduanya kembali naik keatas kuda besi. Putaran rodanya kembali menggelinding melibas muka aspal. Melewati kendaraan demi kendaraan, rumah demi rumah, dan pohon demi pohon.

Matahari temaram tak menyilaukan pandangan. Padi merunduk dalam kebersahajaan, terhampar diatas permadani hijau alam pesawahan. Gunung karang menjulang tinggi di kejauhan, puncaknya dibalut awan putih. Angin dingin berhembus kencang, tat kala mereka menuju kesana.

Danu membawa Mira ke kampung domba. Kampung yang terletak di kaki gunung karang.  Lokasinya sekitar 9 km dari pusat kota Pandeglang. Maksud dan tujuannya membawa Mira kesana, bukan untuk melihat domba-domba pemerintah yang dikelola oleh warga. Akan tetapi ingin menunjukkan salah satu tempat yang aesthetic. Tempat yang cocok untuk memadu kasih berdua. Danu sendiri sudah dua kali datang ketempat itu. Yang pertama saat masih sekolah. Dan yang kedua, sebulan yang lalu, bareng Leni. Sekarang menjadi ketiga kalinya ia mengunjungi tempat itu.

Danu mematikan mesin motornya tepat diujung jalan. Ia pun turun sambil mengitarkan pandangan. Perasaan takjubnya tak berubah saat melihat panorama yang tersaji disana. Tempat itu seakan tidak membosankan untuknya. Bagaimana tidak? Kampung itu menawarkan pemandangan alam yang eksotik. Panorama disetiap sudutnya sangat memukau. Mampu memanjakan mata para pengunjung. Hamparan ladang hijau yang luas, sungai-sungai mengalir jernih.

Danu memejamkan matanya, menghirup udara dengan bebas. Keteraturan, keasrian, dan kesejukan nya, membuat hati jadi tentram, pikiran jadi tenang.

    "Kalau tidak salah, bukankah ini yang namanya kampung domba?" Tanya mira memastikan.

Danu mengangguk membenarkan.

    "Iya, benar. Ini memang kampung domba. Sudah pernah kesini?" Jawab Danu sambil melepaskan helm dan menaruhnya diatas kaca spion.

Mira menggelengkan kepala, ia belum pernah ketempat ini sebelumnya. Ia hanya tahu dari sosial media, Seperti Facebook dan Instagram. Ia juga tidak mengerti, untuk apa Danu membawanya kesana? Apa istimewanya tempat itu?

    "Inikah syurga yang kamu maksud itu?" Suara Mira mengingatkan Danu. Pasalnya, sebelum berangkat tadi, Danu sempat berkata akan membawanya ke syurga. Dan Mira pun mengungkitnya.

Danu merangkul pundaknya, seperti ingin menunjukkan sesuatu padanya. Bahwa syurga yang dimaksudnya itu ada diatas sana. Tapi entah mengapa jantung Mira berdegup kencang, dan lututnya terasa lemas, dikala Danu menyentuh tubuhnya.

    "Haruskah kita mendaki keatas sana?"

Danu mengulum senyum seraya melepaskan tangannya dari pundak Mira.

    "Kenapa? Kamu enggak sanggup?"

Mira tertegun menelan ludah sendiri. Kalau boleh berkata jujur, ia memang tak sanggup. Rasanya engap dan berat.

    "Tidak adakah tempat yang lebih menarik, selain naik kesana?"

    "Anggap saja sebagai olahraga! Untuk melatih kebugaran dan emosional."

    "Aku tahu, kenapa kamu mengajakku kesini."

    "Kenapa?" Sahut Danu penasaran.

    "Mau ketemu sama saudara kamu 'kan?"

    "Siapa?"

    "Domba. He he."

    "Justru saya mengajakmu kesini, karena banyak anak-anak domba yang tidak memiliki induk." Balas Danu tidak mau kalah.

Dua makhluk itu mulai berjalan memijak tanah setapak yang menanjak. Saat itu kampung domba masih alami dan sepi. Belum sebagus dan seramai seperti di tahun 2014.

Gunung karang tampak gagah dipandangi. Ia bagaikan raksasa yang tengah tertidur. Lekuk-lekuk tubuhnya tampak jelas dari lereng hingga puncak. Sinar mentari menyemburat kekuningan, menyepuh punggungnya. Burung-burung prenjak ramai bersenandung di ranting-ranting pohon. Burung Piit masih mengais rezekinya, bergerilya di pesawahan. Sebagian para petani masih terlihat mencangkul di ladang.

    "Kalau aku sudah tak sanggup, nanti kamu gendong ya!" Kata Mira bergurau disela-sela perjalanannya.

    "Menggendongmu? Sama saja dengan mati bunuh diri."

    "Salah kamu sendiri, ngapain ngajak aku kesini? Niat kita kan mau healing, bukan hiking."

    "Jangan mengeluh terus! Belajar perih dulu! Nanti kesananya bakal seneng."

Semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin menghempas. Semakin tinggi langkah seseorang, semakin berat cobaannya. Buliran keringat di wajah Mira sudah tak terbendung lagi. Rona wajah yang semula kemerahan, berubah pucat pias.

'huh.. Hah.. huh.. hah..' deru suara nafas yang keluar masuk melalui mulutnya sudah tak berimbang. begitu ngos-ngosan. Ia menghentikan langkahnya. Mengajak Danu untuk beristirahat sejenak.

    "Berhenti dulu, nu! Aku capek."

    "Huh.... Payah!" Danu menyorakinya, dan menyebutnya payah. Baru segitu saja sudah mengeluh.

Mira tak perduli dengan sorakannya, yang jelas, ia memang lelah dan capek. Mau menyerah, tapi sudah terlanjur. Disela-sela batu dan akar pohon, Mira duduk mengatur pernafasannya.

    "Masih jauh, apa enggak, nu?" Tanyanya dengan suara terbata-bata.

    "Masih dua kali lipat lagi dari sini."

    "Hah?" Mira kaget mendengarnya, mulutnya sampai menganga. Baru segitu saja ia sudah sangat lelah, apalagi masih dua kali lipatnya? Mungkin bisa modar ditengah jalan.

Melihat keringatnya yang terus-menerus mengucur, Danu merasa kasihan. Ada sedikit perasaan menyesal karena telah mengajaknya kesana.

    "Kamu enggak bawa saputangan?" Tanya Danu dengan perhatiannya.

Perasaan Mira membawanya, dan ada didalam tas. Ia segera menggeledah isi tasnya, untuk mencari saputangan itu. Setelah ia mendapatkannya, ia pun menyodorkannya kepada Danu.

    "Nih, tolong usapin keringat ku!" Mira menyuruh Danu mengusapkan keringatnya. Bak aktris yang menyuruh asistennya. Sungguh, itu adalah hal yang sangat manja. seumur-umur Danu belum pernah disuruh ngelapin keringat orang lain. Baru sama dia doang. Dan itu keterlaluan.

Mata Danu yang sipit beradu tajam dengan bola mata Mira yang indah. Untuk kesekian kalinya hati mengingatkan bahwa telah terjadi guncangan yang sangat dahsyat.

Tirakat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang