S2 - Part 88

2.2K 236 14
                                    

Setibanya mereka di istana. Bukan respon terpukau yang mampu Niesha tunjukkan melainkan miris.

Terlihat bahwa tak banyak penjaga dan pelayan yang berlalu lalang. Membuat istana yang besar ini menjadi sedikit tak terurus dan sepi.

"Ekonomi yang sulit, membuat kami tak dapat memberikan makanan layak apalagi upah. Sehingga ayahanda Kaisar dan ibunda Permaisuri membebas tugaskan mereka semua. Tapi seperti yang kau lihat, masih ada beberapa prajurit dan pelayan yang senantiasa bertugas meski tak mendapatkan upah..."

"... Mayoritas dari mereka adalah rakyat yang sudah tak memiliki keluarga. Sehingga, meski tak mendapatkan upah tapi selagi mereka masih mendapatkan makan dan tempat untuk tidur, mereka bersedia. Dan, jangan terkejut bila dua hari ini kamu tidak mendapatkan makanan enak. Maafkan kami yang tak dapat menjamumu dengan layak."

Dengan lembut Niesha menepuk tangan Meera. "Jangan khawatir. Aku pernah merasakan penderitaan sebelum papaku menyelamatkanku. Ini semua masih sebuah kemewahan. Jangan merendah dan jangan khawatir. Sebentar lagi rakyatmu akan tidak kelaparan lagi."

Mata Meera berkaca-kaca dan menunduk. "Terimakasih dan maaf. Sungguh aku meminta maaf karena sudah melakukan banyak kejahatan yang ditujukan padamu dan orang lain. Aku minta maaf. Tapi bila aku boleh jujur, aku sama sekali tak menyesal karena demi rakyatku, aku rela mengotori tanganku. Yang ku sesal kan adalah kamu yang begitu baik tapi harus bertemu denganku yang jahat ini."

Niesha meraih tubuh Meera yang sedikit lebih tinggi dan memeluknya. "Aku mengerti. Kamu juga pasti berat karena memikul beban berat ini dari usia belia. Seharusnya kamu masih bermain tapi justru harus memikirkan bagaimana mempertahankan Kekaisaran agar tak runtuh di generasi mu."

Meera membalas pelukan Niesha dan menangis pilu. Semua bebannya dirinya tumpahkan meski malu karena dilihat oleh prajurit dan pelayan yang kemungkinan melintas.

Sebelumnya, Meera selalu bersikap tegar. Tapi kini dirinya menangis seperti anak remaja pada umumnya yang tak kuat pada tekanan.

Kereta kuda mereka akhirnya berhenti tepat di depan pilar besar. Terlihat dua sosok yang tampak agung meski terlihat kurus. Sungguh, Niesha rasanya benar-benar ingin menangis. Hatinya yang begitu lembut, tersayat melihat keadaan ini semua. Tapi Niesha menahannya dengan sebuah senyuman lembut, ramah, dan menawan.

"Selamat datang di Kekaisaran Geya, nona muda La Christ." Sapa Kaisar dan Permaisuri dengan senyum ramah mereka.

Niesha mengangkat sedikit gaunnya dan menunduk hormat. "Salam hormat saya pada matahari dan bulannya Kekaisaran Geya."

"Bangkitlah, nak." Titah Kaisar.

Meera sendiri langsung memeluk ibundanya, penuh kerinduan. "Apakah ayahanda dan ibunda sehat selama tidak ada aku?"

Dengan penuh kasih sayang, Permaisuri mengangguk sembari tersenyum. "Ya, kami sehat. Jangan khawatir."

"Sudah, sudah. Mari masuk ke dalam terlebih dahulu." Lerai Kaisar yang melihat gerak gerik putri sulungnya yang masih ingin berkata sesuatu. Putri tertuanya itu bila sudah penasaran, akan selalu dicecar jawabannya. Sehingga, lebih baik di bicarakan di dalam istana agar lebih teduh.

Ke empatnya masuk dan langsung menuju ruang perjamuan penerimaan tamu. Biasanya, bila ada tamu penting dari keluarga bangsawan tingkat tinggi, pihak istana selalu menjamu dengan berbagai kudapan khas wilayahnya.

Tapi yang kini berada di meja hanyalah sebuah mangkuk kecil yang berisikan beberapa potong buah dan air mineral, bukan anggur ataupun susu.

Sungguh, Niesha semakin sulit mengontrol perasaannya. Bagaimana mungkin sebuah istana Kekaisaran 'semiskin' ini. Ya~ setidaknya Kaisar dan Permaisuri tidak mengorbankan rakyatnya demi diri mereka sendiri. Mereka turut serta merasakan lapar dan makan makanan berkualitas rendah.

"Maafkan kami yang tak dapat menjamumu dengan baik. Hanya ini yang terbaik yang kami miliki saat ini. Mohon jangan tersinggung." Bukan tanpa sebab Kaisar mengatakan demikian.

Pada dasarnya, hidup dalam era ini, bilamana seorang bangsawan tingkat tinggi bertamu dan tidak dijamu dengan baik, itu sama saja dengan tuan rumah yang merendahkan tamunya. Oleh sebab itu, banyak bangsawan yang pasti tersinggung bila disuguhkan jamuan seperti ini.

Niesha dengan ramah dan tulus, menggeleng pelan. "Tolong jangan sungkan. Saya disini ingin membantu dan bukan minta pelayanan. Tapi saya sangat menghargai ini semua. Terimakasih." Dan sebagai bentuk kesopanan, Niesha meminum air yang telah disediakan.

Mereka berbincang singkat sekaligus perkenalan lebih jauh perihal sosok Niesha. Begitupun Niesha yang mendapatkan informasi betapa tengah terpuruknya kondisi Kekaisaran Geya hingga putrinya nekad menculik pemilik elemen cahaya, yang tak lain adalah Niesha.

Ya, Kaisar dan Permaisuri tahu semua karena putrinya selalu jujur akan tindakannya. Bukannya mereka tak melarang, melainkan sosok putri sulungnya itu sangatlah keras kepala. Bila dirinya sudah memutuskan, maka sebesar apapun mereka bernegosiasi, itu percuma. Kecuali Meera menemukan solusi yang lebih baik.

Pada akhirnya, Kaisar dan Permaisuri hanya diam dan berdoa dalam hati mereka agar sang putri selalu selamat.

Kaisar dan Permaisuri juga meminta maaf pada Niesha tanpa sungkan dan malu. Mereka meminta maaf atas perilaku buruk putri sulung mereka itu.

Sejauh Niesha berbincang. Semakin Niesha mengetahui bahwa sosok Kaisar dan Permaisuri Geya memang sungguh bijaksana. Mereka betul-betul mencintai seluruh rakyat mereka sepenuh hati.

Bahkan mereka sama sekali tak dendam. Yang mereka sesalkan adalah mengapa rakyatnya harus menjadi korban. Mereka hanya menginginkan tanahnya kembali Makmur dan sejahtera.

Melihat betapa sengsaranya para rakyat, itu lebih menyakitkan daripada memikirkan perang. Perang akan menimbulkan kerugian dan tentu rakyatnya pun akan terkena dampaknya. Kaisar dan Permaisuri tidak ingin itu.

Niesha merasa lega karena sosok pemimpin Kekaisaran Geya ini memang sangat berbudi luhur. Maka, tanpa ragu Niesha pasti akan membantu sepenuh hati. Dimulai dari Leera.

"Bolehkah saya melihat tuan putri Leera?" Merasa sudah cukup mengobrol. Niesha meminta izin untuk bertemu dengan sosok adik Meera yang tengah 'sakit parah' itu.

Niesha sudah pernah bertanya. Bila Leera menggantikan ritual persembahan jiwa dengan harta. Mengapa harta Kekaisaran Geya masih belum pulih? Dan jawaban sedih mereka adalah iblis adalah makhluk yang berpegang teguh pada prinsipnya. Sebelumnya, yang melakukan kesepakatan adalah Kaisar dan Permaisuri. Dan ketika melanggarnya, tentu ada hukuman. Dan Leera lah sebagai hukuman atas pembebasan perjanjian Kaisar dan Permaisuri bersama iblis.

"Tentu boleh. Mari." Permaisuri bergerak lebih dulu dengan antusias. Sebagai seorang ibu, tentu saja dirinya bersemangat ketika mendengar ada sesuatu yang dapat 'menyembuhkan' putrinya. Permaisuri sungguh berharap bahwa Niesha dapat membantunya mengembalikan jiwa putrinya yang menjadi tawanan hukuman.

Tak hanya Permaisuri, Kaisar dan Meera juga berharap demikian.

Ke empatnya tiba di sebuah pintu besar yang terpasang banyak batu sihir berwarna hitam. Dengan bingung, Niesha memilih bertanya langsung. "Bolehkah saya tahu batu apa itu?" Tunjuk Niesha pada batu-batu sihir hitam yang mengelilingi pintu.

Kaisar menghela nafas sedih. "Karena jiwa putri bungsu kami diambil. Raganya menjadi kosong. Kami takut bila sewaktu-waktu, sosok iblis merasukinya dan membuat kekacauan. Sehingga, kami terpaksa meminta tetua penyihir Kekaisaran untuk membuat batu sihir yang dapat menyegel tubuh Leera agar tetap berada di kamar ini."

Niesha mengangguk mengerti. "Baiklah. Tapi untuk prosesnya, izinkan saya hanya berdua dengan tuan putri Leera. Hal ini sangat penting dan hanya dapat dilakukan sekali. Sehingga saya mencegah adanya kegagalan karena hilangnya konsentrasi saya."

Dengan demikian, semuanya memilih menunggu di depan pintu dan membiarkan Niesha masuk sendiri ke kamar Leera.



To Be Continued

New Me : 0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang