Aku tidak menangis karena aku orang yang kuat. Namun pada suatu saat, ketika setumpuk air mata tiba-tiba pecah, aku tak kuasa berhenti menangis. Rasanya aku menumpahkan semuanya sekaligus.
-Arshaka-
<><><><><><><>
Hidup bukan cuma hitam dan putih. Terkadang bisa abu-abu terang, gelap, atau bahkan warna yang belum pernah kita lihat. Semua bisa benar juga bisa salah, ia atau tidak, baik atau buruk. Namun di samping semua itu, selalu ada cerita yang tersimpan di belakangnya.
Hawa dingin yang menusuk kulit Shaka. Dirinya sedang menunggu bus yang berhenti di halte. Ia termenung sembari memegangi selembar kertas di tangannya. Ia baru saja kembali dari rumah sakit. Untuk cek up tidak ditemani oleh Allea. Dibutik ada masalah karena itu ia tidak bisa mengantar Shaka ke rumah sakit, dan Shaka memaklumi itu.
Ia memikirkan perkataan dokter tadi. Dokter itu menyuruhnya untuk kemo, ia hanya punya dua pilihan. Namun menurutnya, pilihan itu tidak ada yang menguntungkan baginya, hanya merugikan dirinya saja.
Kemo tidak memberi sembuh, hanya menambah sebuah sakit. Rugi uangnya, rugi rambutnya, rugi badannya, itu menurutnya. Ia berkata pada sang dokter bahwa ia akan kembali memikirkannya.
Kertas di tangannya itu sudah membuktikan bahwa perkembangan penyakitnya sudah semakin meningkat. Ia semakin takut untuk tertidur, karena apa? Karena jika ia tertidur ia juga belum tentu bisa membuka matanya kembali.
"Hei!"
Suara itu membuat Shaka tersadar, menatap orang yang sudah mengagetkannya. Tatapan mereka bertemu dan terkunci. Tatapan mata itu seperti menghipnotisnya, tak lama ia seperti merasakan tusukan jarum di lengannya. Dengan mudahnya orang itu menyuntikan obat tidur karena ia hanya memakai jaket tipis.
Orang misterius itu membawa Shaka yang keadaannya tak sadarkan diri. Menggendongnya dan memasukannya ke mobil. Tangan Shaka yang tadinya memegangi kertaspun terkulai lemas membuat kertas itu jatuh di halte berasama dengan ponselnya.
<><><><><><><><>
Alana yang baru saja kembali dari sebuah minimarket dan menunggu di halte. Ia bernyanyi riang dengan sebuah kantong belanja di tangannya. Lalu tersadar akan sebuah kertas. Ia memiringkan kepalanya.
"Kertas apa itu? Orang buang sampah kok sembarangan sih? Padahal ada tong sampah tuh" Alana pergi mendekati kertas itu, mengambilnya lalu meremuknya. Baru saja tangannya ingin membuang kertas itu, ia berhenti. Ia tersadar, jika kertas ini penting bagaimana?
Alana buka kertas itu dengan hati-hati. "Rumah sakit?"
Matanya terus membaca tulisan yang ada di kertas itu. Sampai ia terkejut dan menutup mulutnya. "Kak Shaka?!"
Pandangan Alana memencar mencari Shaka berada. "Kak!! Kakak dimana!!" Ia kembali melihat posisi kertas itu terjatuh tadi, ternyata ada ponsel juga yang terjatuh. Ia tak menyadarinya.
Alana teriak mencari Shaka, ia bodoamat tentang pandangan orang yang menganggapnya gila. Ia harus tau dimana Shaka kekasihnya. Ia melipat kertas itu lalu memasukannya ke dalam tasnya tak lupa dengan ponselnya. Ia kaget juga melihat isi diagnosa di dalamnya.
"Enggak-enggak. Aku harus tanya kak Haidar atau kak Raden. Iya!"
Alana membuka ponselnya ribut. Ia panik. Tak mungkin bukan Shaka pergi meninggalkan kertasnya dan ponselnya sendiri terjatuh di sini. Shaka tidak seceroboh itu.
"Halo kak"
"Halo Na. Kenapa telfon gue?" Suara Raden terdengar. Menjawab dengan suara serak karena ia baru saja bangun tidur. Bangun siang karena hari ini hari sabtu.
"Kak Shaka ada sama kakak enggak?"
"Enggak lah Na. Gue baru bangun tidur nih. Emang kenapa?"
"Ah enggak kok. Makasih kak"
Telefon dimatikan sepihak oleh Alana. Di sana Raden mengernyitkan dahinya bingung. Alana kembali menelfon Haidar.
"Halo kak"
"Halo Na. Tumben telfon?"
"Ada kak Shaka?"
"Hah? Shaka? Kagak lah Na. Ini gue lagi sendiri makan mie ayam. Kagak sama Shaka"
"Gitu ya kak?"
"Kenapa panik gitu? Emang kenapa?"
"Kak Shaka hilang kak. Aku nemuin hapenya sama sebuah kertas jatuh di depan halte. Dan dia enggak ada"
"Apa?! Lo sekarang dimana Na? Gue susul!"
"Halte jalan manggis kak, sebelah RS"
"Oke!"
Alana mematikan telfonnya. Ia duduk di kursi halte sembari menahan tangisnya. Kemana Shaka? Dia hilang.
<><><><><><><>
Gelap. Satu kata yang mendeskripsikan ruangan ini. Shaka terbangun, menyadari dirinya di sebuah ruangan dengan gelap di dalamnya. Ia juga susah bergerak, menyadari tangan dan kakinya yang terikat oleh tali.
Ia memberontak. Tak lama pintu terbuka. Orang itu masuk dengan menyeringai seram. Tak terlihat wajahnya, hanya giginya saja yang baru terlihat. Semakin lama semakin maju terlihatlah wajah orang itu.
"A-ayah?"ucapnya tak percaya.
Yang disebut Shaka benar. Itu ayahnya-Ardian. Ardian mendekat kearahnya. "Bagaimana?"
"Ini tempat apa ayah?! Ayah nyulik Shaka?"
Ardian tertawa kencang, lalu menatap putera sulungnya nyalang. "Iya! Bagaimana? Ini seru bukan?!"
"Kenapa yah? Kenapa!!"
Ardian semakin mendekat dan mencekram dagu Shaka. Shaka meringis. "Karena, karena saya muak dengan kamu anak sialan!! Entah kenapa saya harus punya anak sepertimu!!"
"Mau ayah apa sama Shaka? Apa mau ayah sebenarnya?!"teriak Shaka.
"Mau saya? Mau saya kamu mati Shaka dan keluarga saya kembali harmonis tanpa dirimu!"
"Mati? Itu mau ayah? Shaka bakal kabulin, tapi enggak sekarang. Ayah tunggu aja!"
Ardian melepaskan cengkraman itu kasar. Ia tersenyum meremehkan. "Jangan coba-coba untuk kabur dari sini!! Awas saja!"
Ardian pergi dengan santai menutup pintu dengan kasar. Meninggalkan Shaka di ruangan gelap itu lagi. Shaka menunduk dalam.
"Kenapa ayah begini? Shaka rindu ayah. Hiks"
<><><><><><><><><>
Sore sudah menghampiri, namun itu semua tak kunjung membuat orang-orang itu tenang. Alana, Haidar, Raden, Varen, dan juga Veno tentunya sedang mencari keberadaan Shaka sekarang. Bagi mereka yang sudah diberi tahupun sangat panik tentunya.
"Gimana ini? Kak Shaka dimana? Hiks"tangis Alana pecah. Empat laki-laki itu memperhatikannya menangis dalam diam.
"Sabar ya Na? Ini kita masih coba cari. Pasti Shaka ketemu kok"ucap Haidar menenangkan berbalik dengan hatinya yang tidak mengatakan itu baik-baik saja.
"Mending Dar, lo anter pulang dulu ini si Alana. Ini dah mau gelap"sahut Raden.
"Aku mau pulang ke rumah tante Allea. Tante Allea pasti sedih di rumah"lirih Alana.
Allea sudah diberitahu jika sang anak hilang. Ia terisak kencang mendengar kabarnya. Ia merasa jika ini salahnya karena tidak ikut untuk menemani Shaka cek up.
Haidar mengangguk.
"Gue udah telfon bokap gue untuk bantu cari. Kalian pulang aja dulu semua. Saling berkabar aja"ucap Raden pada Varen dan Veno yang duduk termenung.
"Denger gue?"
Veno dan Varen kompak mengangguk patuh. Berdiri dengan lunglai ke arah motor Varen. Melajukan motornya pergi dari sana.
<><><><><><><><><>
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSHAKA DAN DUNIANYA || Completed
Teen FictionPemuda penyuka camera dan dunia tentang skatting. Tak hanya itu, ia juga sangat menyukai senja, malam, pelangi, dan hujan. Pemuda yang sangat sabar, kuat, penyayang, dan lembut. Pemuda yang sangat suka mengabadikan segala kenangan. Ya, dia adalah Ar...