14] Hidup yang Penuh Kejutan

124 8 0
                                    

Hidup ini tak mudah memang, hadapilah semua masalah dengan pengaharapan yang teguh. Karena kau tidak akan pernah kalah, asal kau tidak menyerah

-Arshaka-

<><><><><><>

"Ayo makan dulu kak, biar cepet sembuh. Sedikit aja deh. Ya?"bujuk Alana.

Sedari tadi Alana sudah membujuk Shaka agar ingin makan. Walau sedikit masuknya kan tetap makan. Lima sendok sudah cukup.

"Pahit Lan lidahnya"

"Nanti habis ini makan buah ya? Makan dulu buburnya ini. Lima sendok deh ya?"

Baik, Shaka mengangguk kali ini. Satu suapan masuk ke dalam mulut Shaka. Sampai suapan ke empat, Shaka sudah mendorong mangkok yang Alana pegang.

"Mual Lan. Cukup ya?"lirih Shaka. Alana mengangguk menjauhkan mangkok berisi bubur yang masih lumayan banyak.

"Buah?"

Shaka menggeleng. Cukup. Ia benar-benar mual. Alana memberi minum air putih dan beberapa butir obat pada Shaka. Shaka meminumnya.

"Dah selesai makan siangnya. Sekarang kakak mau apa?"tanya Alana tersenyum.

"Enggak. Mau kamu aja di sini"

Alana tersenyum malu. Shaka terkekeh dibuatnya. Kekasihnya imut sekali.

"Gimana sama ibu mu? Apa masih sama?"tanya Shaka memecah keheningan.

"Ya begitulah"

Shaka menoleh menatap Alana. Sorot mata itu tidak berubah, masih dengan senyuman. Senyuman itu teduh. Sama seperti senyuman sang bunda. Senyuman itu membuat hatinya merasa tenang.

"Ah udah. Jangan bahas ibu. Aku maunya bahas kamu aja. Lupain"sahut Alana.

Shaka mengangguk. Tak lagi membahasnya. Shaka terdiam. Alana mengusap tangan dingin Shaka.

"Kak, janji ya sama aku. Kak Shaka harus sembuh, berjuang. Mau kan kak?"celetuk Alana.

"Aku janji, Lan. Demi kamu dan bunda"jawab Shaka mengangguk.

Allea menggeleng. "Diri kakak juga dong"

Shaka tersenyum. Sekarang tujuan hidupnya ya sang bunda dan Alana. Perkara dirinya, itu soal belakangan. Ia juga akan bertahan, jika penyakit itu bisa hilang secepatnya dari tubuhnya.

"Kak, kamu sekarang jadi rumah aku. Rumah aku yang baru. Dari dulu aku susah buat nyari rumah itu. Ternyata, rumahnya udah ada di kakak"

Shaka terdiam. Ini bukan hal baik. Alana jangan sampai mengganggapnya sebagai rumah. Jika ia pergi nanti, rumah Alana akan kembali hilang.

"Aku bukan rumah, Lan. Kamu enggak bisa jadikan manusia sebagai rumah, termasuk aku. Bisa saja aku pergi ninggalin kamu"

"Aku mau ikut kakak kemanapun kakak pergi. Aku enggak mau kehilangan rumah baruku"

"Enggak bisa Lana"

Alana memiringkan kepalanya tanda penasarannya. "Kenapa? Kenapa aku enggak bisa ikut kemanapun kakak pergi? Kakak mau ninggalin aku?"

"Takdir enggak ada yang tau Lana. Bisa aja, aku pergi jauh. Hidup itu penuh dengan kejutan. Kamu harus bersiap-siap dengan kejutan yang akan datang nanti. Jangan mencintai orang terlalu dalam, jangan, jangan pernah. Cintailah aku secukupnya, karena aku dan dirimu tidak akan tahu kedepannya akan seperti apa"

"Kak..."

"Jadi, cintailah aku secukupnya dan jangan pernah kamu anggap aku rumah. Oke Lana?"

Alana langsung memeluk tubuh Shaka. Ia menangis sesegukan di pelukan Shaka. Shaka mengusap kepala Alana pelan. Ia berkata seperti ini, agar Alana tahu. Dirinya tidak akan bisa disamping Alana selalu.

Ceklek

Pintu terbuka memperlihatkan Allea masuk dengan sebuah tas di sisinya. Ia pulang untuk mandi dan membawa beberapa baju untuk dirinya.

"Loh kenapa ini?"

Alana langsung melepaskan pelukannya. Mengusap air matanya dengan kasar. Ia berdiri menghampiri Allea. "Tante~omelin kak Shaka tan. Dia mau pergi ninggalin Isha. Hiks"

"Nanti tante marahin. Sekarang Isha pulang dulu ya, bersih-bersih. Nanti datang lagi jenguk Shaka"

Alana mengangguk. Ia pamit pada Allea dan juga Shaka. Shaka malah tersenyum jahil, ia kesal. Melenggang pergi dari ruangan itu. Allea menghampiri Shaka setelah menaruh tas di sofa.

Allea duduk dan menatap Shaka sendu. Ia mengusap kepala sang anak dan usapan itu turun sampai ke pipi tirus Shaka.

"Nak, kamu mau bertahan kan?"

Shaka mengangguk tentu saja. Ia mau bertahan, kecuali....kecuali dirinya sudah benar-benar lelah.

"Bunda, jangan kasih tau ayah ataupun Veno ya?"pinta Shaka.

"Kenapa?"

Shaka menggeleng. Ia tak mau saja jika ayahnya dan Veno tau. Untuk kedua sahabatnya, ia akan beri tau nanti. Mungkin nanti malam ia akan mengundang mereka ke rumah sakit.

"Bunda, kenapa hidup Shaka harus begini? Salah Shaka apa sih? Kata bunda, hidup bukan hanya perkara bahagia yang harus diterima, dan bukan juga perihal diri yang harus dituruti kemauannya. Tapi bun, jika Shaka boleh mengajukan pertanyaan kembali, sesulit apa semesta berlaku adil padaku? Sesusah itukah?"

"Hidup Shaka juga mungkin enggak akan lama lagi. Penyakit yang ada di tubuh Shaka bisa saja menjadi tambah ganas, ia bisa saja lebih banyak menggerogoti tubuh Shaka. Shaka cuma pengen dapat hak Shaka di dunia ini. Sebagaimana seorang ayah yang menyayangi puteranya, sebagaimana seorang adik juga turut menyayangi sang kakak. Keluarga yang selalu ada, menjadi rumah bagi orang di dalamnya. Hanya itu bunda"

Allea menangis. Ia sudah tidak tahan. Air mata yang dibendungnya langsung keluar tanpa ia suruh. Hatinya sakit mendengar perkataan Shaka anaknya. Merasa nyeri mendengarnya.

"Shaka...."

"Bunda, Shaka enggak mau kalo nanti bunda bilang sama ayah dan Veno kalo Shaka sakit, mereka pasti cuma kasihan bunda"

"Nak, bunda tau hati Shaka sakit, tubuh Shaka pun sakit, mungkin jiwa Shaka pun ikut sakit. Bunda cuma punya kamu sekarang, Shakanya bunda bertahan ya?"

"Shaka bakal coba buat bertahan bun, tapi kalo tubuh Shaka dan jiwa Shaka bener-bener udah enggak kuat. Shaka bakal nyerah"

Allea langsung memeluk tubuh sang putera. Shaka juga menangis dalam pelukan sang bunda. Biarkan mereka menumpahkan segala tangisnya.

Allea tahu, anaknya ini tidak sekuat itu. Anaknya ini rapuh. Sekuat apapun manusia, pasti ada sisi rapuhnya.

<><><><><><><>

ARSHAKA DAN DUNIANYA || CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang