29] Janji?

57 5 0
                                    

Di sini aku masih berjuang melewati hari. Entah, kesuksesan apa yang ku dapat rangkul nanti atau malah kematian yang akan memeluk diriku lebih dulu.

-Arshaka-

<><><><><><><><>

"Kenapa?"

"Ada aja orang tua kayak om Ardi. Ortu gue emang enggak kayak om Ardi, tapi kenapa harus sahabat gue sih?"

Raden menghembuskan nafas lelah. Dirinya sendiri pun tak tahu. "Pasti ada aja Dar. Entah itu satu, dua, tiga, ataupun empat orang tua kayak gitu. Salah satunya om Ardi kan?"

"Kalo kata Shaka sendiri "Terima yang sudah terjadi. Ikhlaskan apa yang tidak boleh diubah. Betulkan apa yang masih boleh diperbaiki."
Sebagai anak, kita enggak tau dimana kita hidup dengan siapa, lahir di keluarga seperti apa, dan tetek bengeknya. Gue juga kesel sebenarnya. Kek kenapa sih, si Shaka harus hidup besar di keluarga kek gitu, kenapa enggak jadi adek gue dan keluarga gue."sahut Haidar.

Memang. Haidar dan Shaka beda 10 bulan, jadi Haidar terkadang selalu menjadikan Shaka sebagai adiknya. Berbeda dengan Raden, Shaka hanya berbeda 8 bulan saja. Tak jauh berbedanya. Shaka memang yang termuda diantara mereka.

"Apapun yang sekarang terjadi, intinya kita harus selalu dukung dan support Shaka. Kita harus selalu ada untuk dia. Walau masih banyak hal yang akan berubah setelah ini. Siap tidak siap, mau tidak mau. Gue, lo, Shaka, dan yang lain sekalipun, dunia pasti akan berubah,"lirih Raden.

"Tinggal tunggu waktunya aja. Meski nanti hasilnya akan mengecewakan, setidaknya kita bisa tahu akhirnya. Lagipula, kita bisa apa kalo semesta sudah menggariskan takdirnya tanpa bisa kita ubah. Gambarannya kayak, semesta tuh nulis takdirnya pake spidol permanent, tapi kita mau hapusnya malah pake penghapus pensil."

<><><><><><><><><><>

Shaka sudah terbangun. Bersandar dengan disuapi buah oleh kekasihnya. Alana dengan senang hati menyuapkan potongan buah yang segar dan Shaka juga lapang dada menerima suapan itu.

"Kak, aku mau nanya dong,"

Shaka tersenyum. "Mau nanya apa cantik?"

"Kakak bahagia?"

"Hah?"Shaka membeo. Sifat ngebug nya ini ni. Muncul tiba-tiba.

"Apa kakak bahagia?"ulang Alana. Untungnya Alana sabar menghadapi beonya Shaka.

"Eum..."

Alana beralih menatap wajah Shaka. Berhenti mengupas buahnya. Menaikan satu alisnya. "Kenapa?"

"Aku enggak yakin ini bahagia atau bukan Lan. Tapi rasanya biasa aja. Dibilang sedih memang iya. Dibilang bahagia juga iya. Bahagiaku gampang kok, cuma orang yang ku sayang bahagia itu lebih dari cukup Lana. Beneran deh. Selebihnya ya biasa aja,"

"Semacam mati rasa?"

Tepat. Itu pertanyaan yang sangat tepat untuk Shaka. Shaka terdiam, diam-diam membetulkan ucapan Alana. Alana tertawa sumbang. Ia menaruh pisau di tangannya ke nakas, mengelus pelan tangan Shaka yang dingin.

"Lana. Semakin hari, semakin ganas penyakit itu menggerogoti tubuhku. Tadi saja, dokter mengatakan penyakitku sudah menaik menjadi stadium 3. Aku semakin takut,"

"Untuk apa takut kak? Takut kenapa?"

Shaka menunduk menatap tangannya yang sedang digenggam oleh Alana. "Takut kalo aku hanya bisa janji tanpa menepati. Takut kalo aku nantinya benar-benar pergi dari kalian semua. Tak-"

ARSHAKA DAN DUNIANYA || CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang