(11) The Happiness To be Unhappy

43 8 1
                                    

Siang yang terik itu Dannisa, Ari, dan Evita akhirnya tiba di depan panggung utama setelah berdesak-desakan masuk ke venue bersama ratusan penonton lain yang kebanyakan adalah anak-anak muda. Carousel Project sedang manggung di Gasibu sebagai bintang tamu festival musik indie itu. Satu lagi hari libur yang Dannisa dan Evita dapat demi menemani Ari.

Ari misuh-misuh karena mereka nyaris saja terlambat datang. Padahal salahnya sendiri karena terlalu lama memilih antara ankle boots Jimmy Choo atau ankle boots Dorothy Perkins yang keduanya menurut Dannisa yang buta merk tampak sama saja.

"Serius, Ri, bentuknya sama, warnanya sama, dan lo kudu gitu ngabisin 45 menit lo yang berharga cuma untuk pilih salah satu?" Dannisa memilihkan Doc Martens biru elektrik Ari yang tergeletak di rak sepatu Alex dan mereka bisa berangkat. Sementara itu Evita diam saja mendengar dua gadis itu beradu mulut saling menyalahkan dan hanya memasang wajah bosan.

"Lo mau nonton Alex atau mau ikutan manggung?" bisik Dannisa di telinga Ari. Berisik sekali di sana padahal panggung masih kosong dan Alex dan teman-temannya belum muncul.

"Lo sendiri ngapain ikut-ikut?" balas Ari. "Udah gue bilang gue nggak bakal ke backstage kali ini. Kubur dulu dalem-dalem mimpi lo ketemu Andres." Dannisa mendelik ke arah Ari tajam.

Saat itu satu persatu personil Carousel Project sudah naik. Penonton mulai menggila. Andres, sang vokalis dengan gitarnya di tengah panggung dan Alex di sisi kiri dengan bass. Orang pikir, tiga personil lain termasuk Alex tampak membosankan ketika Andres naik panggung.

Semua mata di sana memandang Andres. Tapi tidak ada yang memperhatikan bahwa Ari hanya menatap ke satu arah. Alex belum memetik bass­-nya tetapi Ari sudah hanyut sedemikian rupa. Alex berdiri di depannya. Sementara Ari selalu berdiri di situ, beberapa langkah dari tepi pagar penonton, di setiap penampilan Carousel Project yang didatanginya. Siapapun bisa bilang Ari adalah groupie nomor satu mereka--kalau mereka betulan punya groupie. Ia datang paling dulu untuk mengamankan posisinya atau memaksa diri berdesakan dengan penonton yang sudah lebih dulu menempati posisi di depan Alex, tidak jauh dari tepi panggung.

Ari menonton setiap penampilan Alex seperti seorang hamba memuja dewanya. Ketika penonton lain biasanya ikut bernyanyi atau bersorak meneriakkan nama mereka, Ari hanya akan menggoyangkan tubuh mengikuti irama dengan tenang, dengan pandangan tertuju pada satu orang itu saja. Seakan-akan hanya ada Alex di hadapannya dan hanya ada dirinya di area penonton.

Setelah mereka selesai, Ari akan menghampiri mereka di balik panggung untuk berkomentar tentang penampilan mereka, membawakan mereka minuman dingin, atau sekedar menyapa Alex dan teman-temannya lalu kembali ke depan panggung, menonton penampilan lain atau pulang jika mereka selesai. Dannisa dan Evita selalu terkagum-kagum dengan kefanatikannya yang satu itu. Tapi mereka yakin seyakin-yakinnya, Ari melakukan ini untuk Alex dan hanya Alex. Itu bukan lagi rahasia.

Dan, sesuai perkataannya sebelumnya, kali itu Ari tidak mengajak mereka menemui Alex. Ari langsung mengajak pulang segera setelah Carousel Project selesai dengan lagu yang ketiga. Namun tanpa ada yang menyadari, Alex menunggu penonton setianya itu dari balik panggung.

***

Malam-malamnya seperti dulu datang lagi. Dannisa terbangun tiba-tiba. Seperti ada alarm di alam bawah sadarnya. Ia terduduk di tempat tidurnya dengan kaki masih di balik selimut tipis. Udara di kamar kosnya terasa dingin.

Ia mengingat-ingat lagi hari ketika ia turun dari panggung acara pembacaan tempo lalu. Kemudian wajah laki-laki yang mendatanginya dengan penuh percaya diri itu. Lalu pagi itu. Dannisa yakin sekali orang itu tidak menyimpan apa-apa. Ia hanya orang yang biasa orang lain temui secara acak, dalam waktu, tempat, dan peristiwa yang acak. Tidak ada yang istimewa. Sama halnya seperti laki-laki yang tidak sengaja menyenggol bahunya ketika berjalan di trotoar atau perempuan yang pesanan kopinya tertukar dengan miliknya di sebuah kafe. Semua itu biasa karena hanya terjadi sekali.
Tetapi bagi Dannisa tidak ada yang lebih hebat dari alam semesta yang menyimpan sejuta kebetulan yang bisa mendatanginya kapan saja, lewat cara-cara paling misterius. Kebetulan yang datang lebih dari sekali selalu membuatnya ngeri karena tidak pernah ada penjelasan yang pasti untuk itu. Yang mutlak cuma pertautan antara bintang-bintang yang sudah merekam setiap kejadian yang akan terjadi.

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang