"Baiklah. Apapun permintaan Bapak dan Ibu, Ibu tahu kamu akan tetap melakukan apa yang kamu mau." Demikian Yulia berkata ketika Dannisa mengatakan akan kembali ke Bandung. Orang tuanya akhirnya menyerah pada hidup Dannisa. Mungkin mereka sudah merasa cukup dengan kembalinya Dannisa ke rumah mereka, setidaknya ia hanya punya rumah ini untuk kembali. Untuk seterusnya, apa yang terjadi setelah ini, ia tidak punya bayangan.
Dannisa tidak berpikir dua kali ketika ia membereskan barang-barang dan mengepak mok hitam dengan smiley kuning miliknya. Waktu Dannisa pindah dari rumah ke sebuah kamar kos sekembalinya ia dari Bandung, ia tidak membawa serta mok kesayangannya itu. Ia merasa masih akan kembali ke rumah entah kapan. Tetapi sekarang. keyakinan itu tidak sekuat dulu.
Dannisa pikir, peduli amat dengan apa yang orang lain pikir ia lakukan. Selama ia bersama surga dan nerakanya, sahabat-sahabatnya, ia akan menemukan jalan. Ia akan lakukan apapun. Pekerjaannya semula masih termasuk. Keluarganya di sana tidak perlu tahu apalagi mengerti. Hanya dirinya yang tidak boleh menyerah pada hidupnya sendiri. Terutama hidup barunya yang ini.
Ia kembali ke tempat kosnya semasa kuliah dulu. Untuk sementara ia akan tinggal di sana hingga rencana mereka benar-benar final. Rencana itu akan jadi apa, kapan, dan bagaimana, Dannisa tidak tahu pasti.
Segala yang ada di sekitarnya, yang ia rasa, ia sentuh, ia lihat, dan ia dengar terasa mengambang. Tidak menjejak dengan benar di kesadarannya. Ia seperti melihat semuanya dari kejauhan di atas sana. Bahkan di saat ia berdiri di pinggir jalan begini dan segalanya bergerak dinamis, ia tidak di sana tapi tidak juga di mana-mana.
Derai hujan, pejalan kaki dengan dan tanpa payung yang berlalu lalang di trotoar, deru dan klakson kendaraan-kendaraan yang melaju di hadapannya, suara rinai hujan yang berkelotakan di payungnya, orang-orang yang sesekali menyeberang jalan, genangan air yang menyiprat mengenai ujung celana jinsnya. Lalu ada dirinya, sendiri, berdiri diam bersisian dengan tiang rambu-rambu lalu lintas, mengamati, dan menikmati. Menyerap semua yang mampu ia inderai seperti menyerapnya tetesan kopi pada taplak meja putih.
Dannisa menggenggam payung hitamnya--yang tampak mencolok di antara payung-payung yang cerah--erat-erat, bersiap menyeberangi jalan raya itu bersama beberapa orang lain. Lampu hijau berubah merah. Orang-orang yang menunggu bersamanya bergerak maju namun Dannisa masih diam.
Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, seorang pria berjaket gelap berlari menyeberang jalan dan menabrak bahu Dannisa cukup keras hingga Dannisa agak terhuyung ke belakang. Pria itu membungkuk dan meminta maaf sekilas kemudian bergegas lari sembari merapatkan tudung jaketnya. Lamunannya buyar.
Dirinya membatin, aku tidak mau jika hidup baruku ini harus berujung pada hidup baru lagi. Aku tidak mau hidup yang lain.
***
Evita adalah orang pertama yang akan selalu mengkritisi setiap rencana yang Ari buat. Di menit pertama Ari menyatakan rencananya, Evita akan langsung menganalisanya, menjelaskan gambaran besarnya, dan membuat daftar pro dan kontra yang rinci dalam waktu beberapa menit saja. Tidak terkecuali rencana Ari yang mereka anggap gila dan nekat ini.
"Lo baru aja memiskinkan diri, kan? Gimana bisa lo punya ide begini?"
Kalimat Evita itu membuat Dannisa dan Ari menyimpulkan bahwa Evita sudah setengah setuju dengan rencana tersebut.
Ari geleng-geleng. "Menurut kalian ke mana gaji-gaji gue bertahun-tahun ini kalo gue selalu hidup dan belanja dengan duit bokap? Selain itu..." Ari merendahkan suaranya. "...gue punya harta karun nyokap." Sambungnya dalam bisikan dan senyum lebar penuh kebanggaan.
Selanjutnya Evita dan Dannisa mendengar cerita Ari bahwa mendiang ibunya diam-diam menyimpan semua aset atas nama Ari sejak ia kecil. Aset itu hingga kini ia simpan di rekening rahasia yang tidak diketahui ayahnya. Tentu saja ayahnya tahu soal itu tapi memilih untuk tidak peduli. Ari bertanya-tanya sekian lama untuk apa semua uang itu, jadi ia hanya menyimpannya rapat-rapat. Ia bersyukur saat-saat seperti ini akhirnya datang. Ia akan membuka kotak harta karun itu sekarang.
"Berapa?" Tanya Evita masih berbisik. Ari mengangkat satu jarinya lalu membentuk angka nol yang ia ulangi sepuluh kali.
"Hampir segitulah." Ucapnya santai.
"Luar biasa. Lo memiskinkan diri dari bokap tapi lo mendadak kaya lagi dari nyokap. Sekarang gue nggak akan meragukan kesultanan lo lagi, Ri." Dannisa berdecak sembari geleng-geleng.
"Pokoknya kalian nggak perlu pusing. Cukup kerja bareng aja."
"Oke. Tapi gue udah nyaris bangkrut." Dannisa garuk-garuk kepala.
Ari dan Evita kemudian sepakat untuk mengecualikan Dannis dari urusan permodalan. Evita akan menyumbang 20 persen dari keseluruhan modal, sementara Ari menyanggupi untuk meletakkan bagiannya sebesar 80 persen dengan syarat ia dan Dannisa diizinkan untuk tinggal di sana. Dannisa menyambut ide itu dengan semangat.
"Kalo lagi gini gue merasa keren, sampe rasanya gue ingin menikahi diri gue sendiri." Ujar Ari. Di depannya, Evita dan Dannisa yang mendengar itu hanya diam dan meneruskan makan siang mereka dengan cengiran. Ia lega berteman dengan orang kaya ini seperti apapun kelakuannya.
Sampai 24 jam hampir lewat, Evita masih tidak memercayai apa yang mereka bicarakan kemarin siang. Ia mengira itu cuma akan jadi salah satu dari sejuta rencana yang Ari lontarkan layaknya rencana backpacking mereka keliling Eropa Utara, pergi ke Coachella, berkemah dan mendaki gunung, membuka bisnis sepatu, hingga rencana Ari mengajak Dannisa ikut bar-hopping semasa kuliah--yang tentu Evita tentang habis-habisan. Semuanya berakhir menjadi wacana yang tidak pernah mereka ungkit-ungkit lagi. Tetapi dengan yang satu ini, Evita merasa ada yang berbeda.
Ia sedang menyetiri ibunya, selesai mengantar berbelanja pagi menjelang siang itu. Matanya hanya awas pada jalan dan kendaraan-kendaraan di sekitarnya. Namun ketika melewati jalan Braga dan mobilnya berhenti sebentar, terkena macet karena pembangunan gorong-gorong, Evita menangkap sesuatu di bagian kiri jalan. Sebuah bangunan dua lantai menyempil di antara dua bangunan putih yang rolling door-nya tertutup. Masih ada jejak-jejak gaya art deco di desainnya. Spanduk bertuliskan DIJUAL dengan dua nomor telepon di bawahnya tergantung di muka dinding lantai dua.
Bangunan itu sebenarnya berlantai dua setengah karena di atas lantai dua ada semacam loteng dengan tiga lubang ventilasi dan sebuah jendela di sisi kanannya. Cat hijau dan merahnya sudah pudar dan mengelupas. Sedikit rumput liar tumbuh di jendela di loteng. Bagian depan lantai satunya yang betul-betul menarik perhatian Evita. Pada pintu kaca dan jendela besarnya ada tulisan GRAN'S COFFEE besar-besar dengan logo berbentuk cangkir kopi berasap. Dari luar tidak tampak pencahayaan apapun di dalamnya. Seorang wanita tua keluar berambut putih dari tempat yang Evita simpulkan sebagai kedai kopi itu. Ia membawa serenceng kunci dan tampak kepayahan menutup rolling door-nya.
Berkali-kali Evita melewati jalan ini dan melihat bangunan tua itu, namun baru kali ini ia menghiraukannya. Tiba-tiba ia merasa dekat sekali dengan ide Ari yang awalnya ia kira hanya akan bersatu bersama wacana-wacana gagal yang lain.
![](https://img.wattpad.com/cover/359763321-288-k166741.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...