Begitu Sunday Morning tutup pukul sembilan malam itu, Hanan mengajak Dannisa ke atap gedung indekosnya lagi. Atau Dannisa lebih tepat menyebutnya meminta dan setengah bersikeras karena ia tidak diberi pilihan untuk menolak. Duduk berdua di hammock yang tidak begitu besar itu memaksa sisi tubuhnya menempel dengan sisi tubuh Hanan. Kontak paling maksimal yang pernah mereka lakukan di masa mereka saling mengenal. Dannisa sejujurnya tidak suka bersentuhan sedekat itu, tapi tidak pula membenci berada di atas sana, dibelai semilir angin, mendengarkan suara-suara yang di bawah sana terdengar bising tapi terdengar sendu dari ketinggiannya. Ia berusaha keras mengabaikan duduknya di tepi bangunan dengan mencoba menikmati pemandangan malam dan lampu-lampu kota yang tidak semarak tapi selalu hidup.
"Semalem kamu tidur berapa jam?" tanya Dannisa untuk yang pertama kalinya setelah kurang lebih setengah jam mereka duduk di sana, berayun-ayun, bicara ini itu tapi tidak bicara tentang apa-apa.
"Kok, pertanyaannya aneh?"
Dannisa menoleh.
"Cewek-cewek yang deketin saya dulu nanyanya 'semalem kamu tidur jam berapa'."
"'Cewek-cewek yang deketin kamu'?" kontan Dannisa tertawa, "bentar, bentar. Saya ketawa sampe puas dulu."
Hanan memandangnya tidak mengerti, "popularitas saya sama popularitasnya Bos A nggak kalah, loh."
Tawa Dannisa sedikit demi sedikit mereda. Ia berasumsi saat ini Hanan sedang ada dalam manic episode yang ringan. Lucu dan mengkhawatirkan di saat yang sama. Menyeramkan, pikirnya, bagaimana lucu dan mengkhawatirkan bisa berdampingan demikian dekat.
"Pertanyaan saya serius, loh, Nan."
"Hmm... dua jam? Tiga jam?"
"Terus kamu masih bisa seger begini sepulang kerja hampir seharian?"
"Anggap aja saya punya slot batre ekstra."
Lagi Dannisa tergelak, "kamu nguping, ya tiap kita lagi ngelucu?"
"Nguping apa? Ngelucu tentang apa?"
"Nggak jadi. Lewat, lewat," ujarnya di sela sisa tawa.
Untuk beberapa saat sepi di atas sana. Cuma ada suara deru mesin kendaraan dan beberapa orang berlalu lalang di bawah. Dannisa mengeluarkan ponselnya yang terlilit earphone dari saku jaket baseball-nya. Ia lalu memasang sebelah earphone-nya pada telinganya dan sebelahnya lagi pada telinga Hanan.
"Saya masih penasaran sama selera musik kamu, Dan."
"Saya random, jangan banyak berharap."
Beautiful Girl milik William Fitzsimmons terputar lembut dan lambat.
"Ini bagus."
"Lagu William Fitzsimmons mana yang nggak bagus."
Lalu sunyi lagi.
"Dan."
"Hm?"
"Kamu lagi mikirin apa?"
"Nggak ada. Saya lagi denger suara-suara yang bilang saya tolol dan nggak berguna," jawabnya. Matanya menerawang, jauh ke kaki langit.
"Karena?"
"Karena memilih pindah ke sini dan melewatkan setiap jalan yang dibukakan lebar-lebar. Jalan yang orang umumnya pilih. Jalan yang aman dan... normal."
"Itu suara kamu sendiri."
"Am I normal?"
"You don't have to be normal. You have to be alive. Isn't 'alive' enough?"
![](https://img.wattpad.com/cover/359763321-288-k166741.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...