Usaha Dannisa menghindar dan menarik garis sekuat tenaga selama minggu-minggu pertama akhirnya gagal dalam satu kali pukul. Pertahanannya runtuh seketika gara-gara jadwal belanja mingguan bersama Hanan. Berkali-kali ia mengelak dari tugas bergilir itu dengan alasan meeting dengan klien, dikejar deadline, tidak enak badan, hingga kabur ketika harinya sudah tiba. Yang terakhir itu memang sangat tidak berkelas, Dannisa mengakui.
Dannisa hanya bisa menghela napas gelisah saat Evita dan Ari selesai berbicara. Keduanya baru saja menyatakan dengan gamblang bahwa kali itu mereka tidak bisa lagi menutupi kewajiban Dannisa dan ia harus melakukannya sendiri atas nama keadilan. Dannisa curiga mereka punya alasan terselubung karena sebelumnya dua gadis itu santai-santai saja bahkan lebih dari girang setiap diminta belanja ke luar.
"Sebentar doang. Seminggu sekali." Ari tersenyum puas sembari menyerahkan kunci mobilnya pada Dannisa yang menerimanya dengan bahu terkulai.
Sembari menyelempangkan tas kulit belelnya, dari tangga spiral ia melongok pada Hanan yang baru saja selesai menyajikan pesanan seorang pelanggan di lantai dua.
"Ayo, berangkat. Gue sibuk." Dannisa menukas sekilas seraya berlalu menuju pintu depan. Terdengar suara gradak-gruduk Hanan menuruni tangga dan melempar apron ke dapur.
"Jangan sia-siain kesempatan bagus!" bisik Evita pada Hanan ketika ia setengah berlari melintasi mereka di konter. Hanan mengacungkan jempolnya dan nyengir lebar.
"Cepet aja, ya. Saya nggak mau buang-buang waktu," tukas Dannisa yang lebih dulu duduk di bangku penumpang dan menyodorkan kunci pada Hanan. Hanya mengangguk dengan senyum cerah, Hanan menyalakan mesin mobil.
Sepanjang jalan Dannisa mengacuhkan Hanan dengan membaca Supernova: Partikel-nya yang sudah lecek dibaca lusinan kali. Susah payah Dannisa memfokuskan diri pada bukunya di tengah celotehan Hanan tentang ini-itu. Tentang pertemuan perdananya dengan dosen pembimbing skripsi yang membuatnya gugup besok. Tentang pelanggan menyebalkan yang ngotot memesan latte tanpa susu tapi menolak ketika pesanannya disebut espresso. Tentang Evita yang misuh-misuh karena Ari menyebut brownies panggangnya bantat tadi pagi. Tentang niatnya membuat playlist Spotify David Guetta untuk playlist khusus setiap malam Minggu yang menurutnya akan langsung Dannisa tolak mentah-mentah karena itu berlawanan dengan konsep bisnis mereka. Tentang segala macam hal yang biasanya hanya diceritakan seorang teman pada teman akrabnya. Dannisa mendengar itu semua seberapa keraspun ia mencoba berkonsentrasi. Menurutnya anak itu seperti maskot kelinci batere Energizer, tidak pernah kehabisan tenaga dan seolah-olah bisa begitu berhari-hari. Kalaupun habis tinggal ganti batere maka ia akan bertenaga lagi.
Suara Hanan tidak mengganggu, kalau Dannisa bisa jujur, walaupun suaranya terlalu nyaring untuk ukuran laki-laki. Tetapi nyaringnya adalah nyaring yang menyenangkan. Dannisa seperti sedang mendengarkan radio setiap kali Hanan berbicara. Renyah dan cepat. Itu membuat Dannisa bertekad jika suatu hari nanti ia sudah tidak tahan dengan keberadaan Hanan, ia akan menyarankan anak itu untuk jadi penyiar radio saja dari pada jadi barista di Sunday Morning terus-terusan.
***
Acara belanja mereka selesai kurang dari setengah jam. Tidak seperti sangkaan Dannisa, mereka tidak membuang-buang waktu. Hanan melakukan persis apa yang perlu mereka lakukan dengan daftar belanjaannya. Mengambil daun bawang lalu pergi ke rak produk susu. Mengambil keju lalu menyimpannya di troli. Memilih alpukat lalu membungkusnya untuk ditimbang. Tidak ada berlama-lama di rak minuman kaleng seperti Dannisa biasa lakukan jika belanja sendiri. Tidak ada bingung memutuskan antara dua merk butter. Tidak ada acara tersasar atau berputar-putar di rak yang sama. Semuanya terukur dan terhitung dengan baik. Dannisa tidak perlu mengangkat jari untuk menunjuk atau membuka mulut untuk protes dan komentar. Yang ia lakukan hanyalah mendorong troli dan mengikuti di belakang Hanan. Sejauh ini semuanya memuaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...