Hak sepatu Evita berkelotakan di lantai keramik kantor Juno. Langkahnya pasti dan percaya diri. Senyum cerahnya menyapa para rekan kerja Juno yang balik menyapanya ramah. Seorang resepsionis di pintu masuk tadi mengatakan bahwa Juno masih berada di ruang rapat dan ia bisa menunggu di ruangannya. Seperti yang selalu ia lakukan.
Siang itu ia dan Juno berencana pergi makan siang bersama. Juno sudah memesan tempat di restoran sushi dekat kantor dan mereka akan pergi pada jam istirahat siang. Dengan niat ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama Juno dan tidak ingin membuat Juno harus bolak-balik menjemputnya ke toko lebih dulu, Evita menghampirinya di kantor. Tanpa pemberitahuan tentu saja, untuk efek kejutan. Ia tersenyum sendiri membayangkan ekspresi terkejut dan tersentuh Juno nanti.
Tidak berapa lama kemudian, saat Evita mulai mengantuk karena menunggu di ruangan ber-AC yang sejuk, Juno akhirnya masuk sembari memeluk bergulung-gulung poster.
"Loh? Kok udah di sini? Kapan sampe?" Sesuai dugaan Evita, Juno tampak kaget.
"Belum lama. Kamu udah selesai?"
"Belom. Sedikit lagi." Juno kembali menghadap laptop di mejanya sembari berdiri, "kamu naik ojol ke sini? Atau sama Ari?"
"Nebeng Fahri."
Sontak Juno mendongak dari laptop-nya. Ia menatap Evita seraya mendorong kacamata di hidungnya dengan tatapan menuntut penjelasan.
"Tadi ketemu di toko. Dia bilang mau ke daerah sini juga jadi dia ngajak bareng. Ari tadinya mau nganterin tapi aku kasian kalo Dannisa berdua doang sama Hanan."
"Kan, aku bilang mau jemput."
"Dari pada bolak-balik aku aja yang nyamperin."
"Kenapa nggak bilang dulu? Telepon atau WA gitu?"
Evita memandang Juno untuk beberapa sesaat, mencari alasan dari kalimatnya barusan. Ia menyadari suasana bergeser ke arah yang tidak menyamankan."Aku udah sampe loh, ini, Jun," ujarnya. Tetapi Juno hanya berkacak pinggang sembari tangan kanannya memainkan mouse. Evita bisa melihat mata Juno terpaku pada monitor laptop tetapi wajahnya tidak demikian.
"Kita mau ke mana dulu?"
Lagi-lagi Juno tidak menjawab. Ia malah sibuk mengetik sesuatu di sana, membuka sebuah gulungan poster lalu memeriksanya sejenak kemudian menggulungnya lagi. Evita menyaksikan gerakan Juno yang tampak kesal.
"Jun?" panggilnya hati-hati. Ketika Juno tidak juga menjawab dan malah mengambil gulungan poster lainnya, ia melanjutkan, "aku pikir kamu fine-fine aja soal aku pergi sama temen aku."
"I'm not having this conversation."
"We should talk this through. Now," tegas Evita. Ia bisa membaca hari ini ia dan Juno tidak akan bercakap-cakap dengan baik.
"Aku lagi kerja."
"Kamu tetep nggak akan ngabulin permintaan aku untuk ngobrolin soal ini, kan biarpun kerjaan kamu udah selesai? Kebiasaan lama, tau nggak."
"I'm not in the right mood."
"Ini bukan melulu soal kamu, Juno. Berapa kali aku bilang kalo kita nggak boleh menghindar setiap ada kejadian kayak gini. Nggak bisa juga kita saling diemin berhari-hari sampe kita baikan sendiri. Masalah kita cuma akan numpuk di pojokan dan sewaktu-waktu bisa runtuh," jelasnya dengan suara bergetar penuh emosi.
Juno menghela napas. Ia menutup laptop-nya kasar lalu berjalan menghampiri Evita dan meraih pergelangan tangannya, menariknya ke luar dari ruang kerja menuju sebuah pintu tangga darurat di ujung koridor. Gerakannya tidak memaksa tetapi mendominasi dan Evita tidak nyaman akan itu.
"Silakan. Apa yang mau kamu omongin?" ucap Juno dingin setelah ia menutup pintu tangga darurat dan melepas tangan Evita.
"Kenapa, sih kamu harus bereaksi kayak gini? Aku cuma naik mobil dari toko ke sini, disetirin Fahri, terus Fahri pulang, dan aku nemuin kamu. Aku nggak liat masalahnya di mana," jelas Evita gusar.
"Kamu nggak bisa jawab itu sendiri? Aku kira perempuan paling paham soal ginian."
"Aku nggak suka asumsi seksis kamu itu."
"Terus apa yang pengen kamu denger dari aku? Kalo kamu cuma pengen denger yang pengen kamu denger, nggak usah ngobrol sama aku." Juno berusaha keras menekan volume suaranya agar tetap rendah. Kepala keduanya sama-sama memanas.
"Masalah kamu apa, sih, Yang?"
"Nggak ada. Aku bilang, kan nggak ada yang harus kita obrolin soal ini. Kamu nggak bisa liat?"
"Kamu cemburu?" tembak Evita. Juno tertawa pahit mendengarnya.
"Kamu nggak suka sama asumsi seksis aku?" Juno mendekatkan wajahnya pada Evita karena volume suaranya terus merendah, "nah, aku nggak suka sama hipotesis-hipotesis psikologis yang kamu tarik cuma karena kamu ngerti teorinya. Aku capek."
Evita mematung. Napasnya tertahan, "kamu... kamu berani bilang kamu capek sama aku?" ucapnya lambat-lambat.
"Iya, aku capek."
"Sebelum kamu bilang gitu pernah nggak kamu pengen tahu aku capek atau nggak?" desis Evita.
"Aku anter kamu pulang sekarang." Sekali lagi Juno mencengkeram tangan Evita tetapi Evita menepisnya.
"Nggak perlu. Kamu capek, kan. Aku bisa pulang sendiri," tukasnya tajam.
Evita beranjak dari sana, tangannya pada gagang pintu. Tepat sebelum itu, ia berbalik sesaat, "kamu sebetulnya tahu semua yang aku bilang itu benar. Kamu cuma terlalu takut untuk buka mata dan peduli."
Juno tidak menahan Evita. Ia tahu itu tidak ada gunanya. Ia sendiri tidak lagi mengerti siapa yang salah dan yang benar. Hatinya sadar itu. Semua ini membingungkan bahkan bagi dirinya sendiri.
Pada saat-saat seperti ini Evita sangat membutuhkan meja kerjanya, komputernya, berkas-berkas kliennya, jam-jam panjang analisa jurnal dan riset hingga larut malam. Sayangnya segala hal yang dulu mendefinisikan dirinya sekaligus satu-satunya hal yang memampukannya untuk lumpuh sebentar dari perasaan yang menyerangnya seperti ini sudah tidak lagi ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...