*Kalopsia: (n.) The delusion of things being more beautiful than they are.
Rumah Ratih sepi Sabtu sore itu. Dimas pasti sedang pergi, pikir Evita. Ia mengendap-endap masuk ke rumah kecil Ratih dan Dimas yang sesuai dugaannya pintunya selalu lupa dikunci. Nyonya rumahnya sendiri sedang ada di dapur, berdiri menghadap kompor yang di atasnya ada panci dengan asap mengepul. Evita menarik kursi dan duduk diam-diam di pantry mereka, menyaksikan Ratih serius sekali menambahkan bumbu ini itu dan mencicipi masakannya berulang-ulang.
"Paling-paling kurang gula," cetus Evita.
Ratih berbalik dan tampak terkejut sekali tapi berhasil mengatur kembali wajah tanpa ekspresinya setelah melihat Evita-lah yang tahu-tahu muncul seperti hantu di dapurnya. Jelas sekali Ratih masih menyimpan kekesalannya kemarin.
"Aku udah kasih garam berkali-kali dari tadi," tukas Ratih ketus sambil menghadap pancinya lagi.
"Mungkin kurang gurih, bukan kurang asin."
Ratih diam sejenak sebelum mengambil sebuah wadah bumbu di rak di atas kepala. Ingin menurut tapi gengsi sepertinya. Setelah Ratih mencecap masakannya dari telapak tangannya lagi, ia mematikan kompor.
"Tehnya habis. Tapi aku ada jeruk." Ratih membawa sesuatu dari kulkasnya dan melenggang ke teras belakang. Masih ketus. Evita mengikutinya.
"Maaf, ya, yang minggu lalu," ujar Evita. Di meja kecil di antara bangku Evita dan bangku Ratih, ada dua gelas es jeruk.
Ratih menatapnya sebentar. "Udahlah. People make mistakes."
"Some people make mistakes. Some others just go crazy," ujarnya sambil terkekeh. "Aku cuma..."
"...gila. Iya. Memang," potongnya, "udah aku bilang, kan kamu harus hati-hati sama mulutmu itu."
"Semuanya ini bikin aku tertekan, Tih. Gimana nggak, di depan aku saudara-saudara Juno terang-terangan ngobrolin El, masuk-masukin dia ke acara aku, nyambung-nyambung, ngungkit-ngungkit. Okelah, aku bakal baik-baik aja kalo El itu cuma sekadar perempuan yang keluarganya kenal bertahun-tahun. Tapi, kan nggak gitu faktanya. El itu punya..." kalimat Evita terputus sampai di situ. Tenggorokannya tercekat.
"Punya apa?"
"Punya sejarah sama Juno dan juga keluarga besarnya..." katanya pelan dan ragu, "nggak tau, sih tapi, yaa... aku ada hmm, ada firasat. Mereka nggak tahu perasaan gue terhadap fakta yang satu itu, tuh kayak apa." Evita berdehem, lagi-lagi kelepasan ber-gue-elu pada Ratih.
"Kalo gitu kamu harus coba obrolin itu sama Juno. Mungkin Juno nanti bakal ngomongin itu sama ibu, El, dan saudara-saudaranya yang lain."
"Nah, speaking of which, kamu nggak tau, kan Juno lagi-lagi nunda rencananya pulang hari ini? Coba jelasin gimana aku bisa have a proper conversation sama laki-laki calon pengantin pria satu itu?" tutur Evita cepat hingga ia harus menarik napas dalam-dalam di ujung kalimat.
"Oke, calm down. Let the steam out. Semuanya bakal berlalu, kok."
"Rasanya aku pengen buru-buru Desember aja, deh, Tih."
"Beneran? Tiga bulan itu sebentar lagi, loh," tanyanya tak percaya.
"Yah... Seenggaknya aku keluar dari situasi stressful ini. Dan masuk ke situasi stressful selanjutnya, I know. But still..."
"Syukur deh, kalo kamu sadar," ia terkikik.
Evita mendengus, "yang bener aja."
Ratih beranjak sebentar untuk mengambil sesuatu dari dalam lalu duduk kembali tak lama kemudian. Ia menyodorkan sepiring kecil lapis Surabaya pada Evita. Tidak hanya itu, setelah Evita mengambil potongan kecil dan meletakkannya ke meja kecil di antara mereka, Ratih juga menyodorkan sebuah kotak pipih panjang berwarna merah tua dengan pita emas.
![](https://img.wattpad.com/cover/359763321-288-k166741.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...