(55) The Broken Pendulum

25 5 1
                                    

Hari kesebelas setelah kebakaran yang menghanguskan Sunday Morning. Hari kesepuluh setelah pemakaman Harry. Hari Minggu pertama yang terasa begitu suram setelah puluhan hari Minggu yang cerah di toko. Pertama kalinya Dannisa datang sendiri dan menyaksikan 'rumah'-nya dulu menghitam, nyaris jadi arang setelah malam itu. Dannisa datang lebih dulu karena lokasi gedung kosnya yang paling dekat dengan toko. Ia menyesal siap-siap terlalu pagi. Harusnya ia menunggu Ari atau Evita menjemputnya saja. Menyaksikan semuanya itu seorang diri rupanya terlalu menyakitkan.

Ia melihat konter panjang yang kayunya bernoda hitam meski masih kokoh. Noda abu kehitaman menempel di langit-langit ruangan dan panel-panel kayu lepas dari dinding. Sementara kursi dan meja hampir tak berbentuk. Dannisa meringis mengingat ia yang memilih semuanya satu persatu. Ia tidak berani melihat lebih jauh ke dapur. Apalagi ke lantai dua.

Ketika akan melangkah ke belakang, ponselnya bergetar di saku jaket parkanya. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak bernama.

"Halo?"

"Ini Mieke, Kak."

"Eh, Mieke. Apa kabar? Katanya mau main ke sini, kok nggak dateng-dateng? Udah liburan belom, sih?" Mendengar suara gadis itu lagi, hati Dannisa sedikit mengembang.

"Kak... Hm..." Getaran dalam suara Mieke kentara sekali meski nadanya tenang.

"Iya?"

"Kalo nggak lagi sibuk... bisa ke sini nggak?"

"Ke sini? Ke rumah?"

"Bisa, ya... Tolong banget..."

"Ada apa? Hanan di rumah?"

Dannisa meninggalkan toko tanpa pikir panjang. Lekas ia memesan ojek online dan meminta driver untuk melaju secepat yang ia bisa. Ia tidak ingat harus meninggalkan pesan atau mengabari dua temannya apapun dan hampir saja lupa mengunci pintu. Selama perjalanan panjang yang seolah tidak sampai-sampai itu, Dannisa cuma ingat dan dengar satu hal: Hanan mulai lagi.

Di teleponnya tadi, Mieke, dengan setengah menangis, berkata bahwa pagi tadi, begitu bangun tidur sekitar pukul 7, Hanan pergi mandi di kamar mandi ruang tidur utama yang Widuri gunakan. Kamar mandi dengan bathtub tua yang biasanya hanya digunakan oleh Mieke saja.

Tanpa berpikir macam-macam, Widuri mengijinkannya dan sarapan duluan bersama Mieke. Tapi hingga sarapan mereka selesai dan meja dibereskan setelah hampir satu setengah jam kemudian, Hanan tidak juga keluar dari kamar mandi. Kamar mandi yang cuma punya selot pintu di dalam.

Mieke bilang tidak ada suara apa-apa dari dalam kecuali suara kucuran air dari keran bathtub dan kalimat pelan Hanan saat untuk kesekian kalinya Mieke menggedor pintu.

"Jangan masuk. Biar aku di sini." Kata-kata saat itu dingin dan terdengar tenang.

Setelah itu pembicaraan mereka terputus karena Mieke bersikeras mencoba untuk mendobrak pintunya dengan kapak. Mereka mencoba mencari bantuan tapi tidak ada yang merespon panggilan telepon ataupun pesan dan tetangga terdekat mereka berada satu kilometer jauhnya. Hanya Dannisa yang langsung mengangkat telepon mereka.

Sama seperti ketika pertama kali Dannisa menginjakkan kakinya di teras rumah berhalaman hijau dan besar itu, ia gugup luar biasa. Jantungnya berpacu lebih kencang dan lebih janggal dari pada dulu. Telapak tangannya basah dan gemetar.

Dari luar, rumah itu tampak tenang dan damai. Sama seperti saat pertama kali ia ke sana. Ternyata di dalam pun ia tidak menemukan keramaian yang ia bayangkan sepanjang jalan. Tidak ada kerumunan tetangga yang mencoba menolong dan ikut panik. Cuma ada Widuri dan Mieke yang berkumpul di kamar utama, di ujung tempat tidur besarnya, masih menunggu.

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang