Selesai membuat adonan roti sepagian, Evita melenggang santai dari dapur menuju sebuah meja di sudut dekat jendela di mana Ari dan Dannisa sedang asyik masing-masing. Dannisa membaca Jane Eyre, Ari serius mengetik sesuatu di ponselnya sambil sesekali terkikik geli. Dikeluarkannya sebuah cincin platina dari saku apronnya. Evita menyematkannya di jarinya yang sudah bersih dari bekas tepung sembari duduk di antara dua gadis itu dengan gerakan yang mencolok. Ari meliriknya lewat ujung mata.
"Udah kaya sekarang dia, Dan. Bosen belanja buku sekarang belanjanya berlian."
"Gue kira dia pelit. Eh, maksud gue irit." Dannisa berujar tanpa mengalihkan mata dari buku tebalnya.
"Gue masih pelit, kok."
"Really? Bok, berlian segede gitu? Itu berlian, kan bukan kaca?" Ari meletakkan ponselnya di meja.
Dannisa terbahak. "ya kali, hadiah ciki seribuan.""Berlian, dong, enak aja. Tapi nggak mungkin juga gue beli berlian cuma untuk dandan."
Ari dan Dannisa bertukar pandang dalam diam lalu tertawa kosong, "nggak mungkin."
"Nggak mungkin, nggak mungkin..." Ari ikut geleng-geleng.
"Mimpi buruk buat gue kalo salah satu dari kalian kawin duluan. Maksud gue, kita nggak main bertiga lagi gitu?"
"Selamat. Mimpi lo baru aja jadi kenyataan." Evita menyodorkan tangan kirinya yang bersemat cincin bermata besar itu pada Dannisa, "we're getting married."
"OH MY GODDDD!" seru Ari keras dan heboh dengan mata terbelalak lebar, membuat beberapa orang yang sedang duduk di sekitar mereka menoleh.
"Sstt, ssttt! Ada yang lagi meeting di atas!" dari konter, Hanan berdesis galak.
"Oh my Goooddd!" seruan Ari berlanjut dalam bisikan sementara ia dan Dannisa mengagumi cincin Evita.
"Elo, Vit?"
Evita mengangguk.
"Sama Juno?"
"Iyalah. Siapa lagi."
"Ya, ampun."
"Jadi kemarin dia ke sini buat itu? Buat ngelamar elo? On his knees??" tanya Ari dalam horor.
"Nggak berlutut segala, lah, jijik banget, di trotoar gitu?" Evita mengernyit.
"Kalian masih pacaran?" Dannisa memandang Evita tidak paham. Belum sepenuhnya percaya pada apa yang baru saja ia dengar.
"Bitch, please, mereka nggak perlu lagi pacaran kalo selama ini mereka udah pacaran bolak-balik."
"Gue gagal paham."
"Elo, sih nggak bakal paham. Pacaran dulu sana bolak-balik baru paham," Evita melirik ke arah Hanan yang tidak sengaja menangkap matanya dan otomatis menyengir kecil.
"Awwww, selamat, ya lo..." Sekali lagi Ari memegang tangan Evita dan menatap cincinnya penuh kagum.
"Akhirnya, Vit... Selamet, ye. Buah kesabaran lo akhirnya dipanen." Dannisa menepuk-nepuk bahu Evita. Cengiran Evita penuh kepuasan dan kebanggaan.
"But still, love is surely a scary thing," lirih Dannisa.
"No, it's not. Love is not scary. Fucked up relationship is," sanggah Evita cepat diikuti anggukan setuju Ari. "Anyway, anyway, lo berdua akan jadi satu-satunya bridesmaid yang bajunya paling beda dari bridesmaid lain. Kalo perlu lo-lo pada gue dandanin, deh mulai dari acara lamaran gue bulan depan."
Ari dan Dannisa berseru kecil. Kebahagiaan di meja kecil itu menghangatkan. Dalam hati Evita berdoa kuat-kuat, semoga secuil perasaan gugup dan takutnya sejak kemarin hanyalah pertanda bahwa ini betul kenyataan, bukan sekadar fantasi seperti yang bertahun-tahun ia bayangkan dalam kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...