*Chrysalism: (n.) The amniotic tranquility of being indoors during a thunderstorm.
Sekitar pukul setengah empat sore ketika akhirnya matanya yang bengkak mulai mengempis, Evita bangkit dari tepi kasur untuk mandi sebentar dan menyisir rambut. Ia mengganti celana jeans dan sweatshirt-nya dengan terusan putih sederhana selutut yang tersampir di sofa, yang seingatnya telah ia pakai dua hari lalu. Seberapapun tidak inginnya, ia merasa harus tetap tampak rapi di depan Angky. Semua orang pasti sudah tahu dirinya kacau berantakan. Ia tidak mau menambah-nambah imej itu. Ia harus jadi perempun kacau yang rapi.
Dengan taksi online, Evita sampai di tempat yang Angky janjikan. Beliau sudah duduk di salah satu meja di bagian outdoor sebuah kedai kopi. Angky membuat Evita yang beberapa jam belakangan sudah agak tenang jadi gelisah. Beliau tampak waspada dan tenang seperti biasa. Like the calm before the storm. Evita menghampirinya dengan senyum formal.
"Udah lama, Tante? sapa Evita setelah menyalaminya.
"Baru, kok. Duduk, Vit." Tanpa disangka beliau tersenyum seperti biasanya. Namun itu tidak mengangkat gelisah yang malah memberat di bahu Evita.
Evita duduk dengan tenang sementara Angky memanggil pelayan dan membuatkan pesanan tanpa bertanya lebih dulu pada Evita.
"Nggak usah repot-repot, Tan, makasih. Saya--"
"Tante tahu kamu belum makan dan kamu pasti nolak kalo Tante tawari," potongnya.
Keramahannya masih sama. Evita hanya bisa menurut saja bukan karena ia memang sangat lapar tapi karena ia tidak bisa berbicara banyak. Keramahan Angky ini malah membuatnya takut. Takut kalau-kalau ada satu kata yang bisa memancing pembicaraan apapun tentang perbuatannya. Meskipun ia tahu pasti Tante Angky mengundangnya kemari memang untuk itu.
"Juno sudah pulang ke Jakarta lagi subuh tadi," ujarnya seolah-olah kabar Juno pulang ke Jakarta itu hanya kepergian rutin karena jadwal kerja. Napas Evita tercekat.
"Kalian bertengkar lagi?" tanya Angky setelah Evita hanya bergumam pendek.
Evita mengangguk sembari tertunduk, tidak berani melihat wajah Angky. Beliau pasti sudah mengetahui semuanya. Termasuk Evita mengembalikan cincin tunangan itu pada Juno.
"Tante berharap kalian bertengkar aja seperti biasa, bukannya malah begini."
Evita mengatupkan bibir rapat-rapat. Menahan isakan yang hendak keluar lagi. Dadanya sudah lelah dari menangis berjam-jam.
"Pasti nggak mudah, ya pacaran sama Juno selama ini? Tante nggak tahu apa aja yang sudah terjadi selama kalian pacaran tapi Tante tahu kamu kesulitan. Juno nggak pernah cerita apa-apa tapi Tante tahu."
Tangisnya pecah jadi isakan kecil yang sulit ia hentikan. Lututnya basah.
"Kamu berada di samping Juno bertahun-tahun, di saat-saat tersulitnya sekalipun, Tante tahu kamu kesulitan. Juno bukan anak yang mudah didekati. Dia nggak seramah anak-anak lain, nggak terbuka seperti kakaknya, nggak peka, kaku, keras kepala, seringkali nggak memikirkan perasaan orang lain."
She knows him like I do. I've been right all the time about him. And she's right. It wasn't my judgement. It hasn't been easy, Evita membatin.
"Dari semua perempuan yang Juno bawa ke rumah, cuma pada saat dia bawa kamulah Tante sadar dia mulai lain. Dia lebih hangat. Lebih seperti manusia, bukan mesin yang cuma tahu kerja dan hobi dan keadaannya sendiri. Dia nggak pernah bilang apa-apa tapi Tante tahu dia mencintai kamu dari bagaimana dia berubah dan caranya memandang kamu. Dia butuh kamu, Vita."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romantizm3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...