(13) Hiraeth

51 13 4
                                        

Dannisa sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya memberi tahu Hanan dengan halus bahwa garis batas yang tegas antara dirinya sebagai bawahan dengan Dannisa sebagai atasan harus ditarik dan tidak bisa ditawar dengan cara apapun. Ia percaya ketertiban itu adalah sebuah hal indah di dunia yang harganya mati dan harus dijaga.

Sebulan lebih sudah berlalu sejak Sunday Morning mulai beroperasi. Rasanya menyenangkan tentu saja, mengatur bisnis sendiri, dengan setiap detil dan sentuhan sendiri, dibangun dari nol; tidak ada dari ketiganya yang pernah membayangkan mereka akan memiliki tempat ini apalagi bersama-sama.

Ari dan Evita kelihatan sehat dan bahagia setiap hari. Ari yang biasanya bangun agak siang dengan wajah kusut dan tingkat kebawelan yang sulit ditoleransi, sejak Sunday Morning buka kini sudah berubah, rajin bangun lebih pagi dan memulai ritual baru: minum smoothie sayur. Hal terakhir di bumi yang akan dilakukan oleh Ari yang dulu karena menurutnya kalau cuma mau minum kenapa harus repot-repot buka blender jika ada kaleng bir yang lebih mudah.

Sedang Evita, yang selalu datang pukul 5 dan mulai memanggang kue, tampak lebih santai, tidak lagi tegang dan seserius ketika masih bekerja. Evita sering terlihat duduk-duduk minum kopi sambil membaca buku tebal atau majalah wanita yang dulu jarang disentuhnya atau duduk di kursi konter, menonton acara gosip. Ia punya lebih banyak waktu luang dari pada sebelumnya.

Sementara itu Dannisa--siapapun bisa lihat--adalah satu-satunya orang di sana yang selalu ingin kabur. Untuk pertama kalinya dalam setengah tahun belakangan, ia ingin berada di tempat lain saja, jauh-jauh dari manusia satu itu, yang sekarang sedang berjalan menghampirinya dengan dua cangkir di tangan ditambah cengiran yang khas.

"Saya nggak pesen kopi." Mata dan tangan Dannisa tetap pada buku catatannya, menulis beberapa baris kalimat dengan tulisannya yang seperti cakar ayam saking cepatnya.

"Ini bukan kopi." Hanan menarik kursi di hadapan Dannisa lalu meletakkan cangkir-cangkir itu di meja.

"Tapi saya nggak pesen." Dannisa menekan kata-katanya, masih tanpa merasa perlu menatap Hanan atau cangkir mereka. Dari wanginya Dannisa tahu itu teh susu panas instan miliknya yang khusus ia stok untuk dirinya sendiri.

"Sebentar lagi jam 9."

Awas sekali mata anak ini memperhatikan sampai tahu jam berapa aku minum apa. Psikopat, pikirnya ngeri.

"Sebentar lagi jam 9 dan kamu harusnya pulang." Dannisa bergumam yang lebih terdengar seperti menggerutu.

"Jam malam kosan saya masih 3 jam lagi."

Dannisa menutup buku catatannya. Dipandanginya wajah laki-laki itu, cangkir latte Hanan, dan cangkirnya bergantian. Ia tidak percaya Hanan masih berani memperlakukannya seperti ini setelah tadi pagi ia sedikit membentak Hanan gara-gara pria itu membereskan kertas-kertas dan laptop-nya yang belum sempat dibereskan di sofa tanpa bilang apa-apa.

"Keliatannya selain apa yang saya makan, saya minum, dan jam berapa aja saya makan dan minum, kamu selalu tahu jam berapa saya lagi kerja, ya. Bisa nggak lain kali cari tahu juga orang kayak apa yang saya nggak suka dan apa yang bisa saya lakukan terhadap orang itu?"

"Sebelum itu kamu harus tahu dulu apa yang seharusnya kamu tahu tapi kamu sendiri nggak perhatiin." Di luar dugaan Dannisa, Hanan malah tersenyum. "Kamu belum makan apa-apa dari siang."

Dannisa gerah sekali mendengar bocah itu ber-aku-kamu dengannya sementara Evita dan Ari dipanggil 'bos'. Ia mendengus, "saya nggak ada niat main ibu-ibuan sama siapapun."

Hanan mengangkat bahu kemudian berdiri mengambil kembali cangkir latte-nya, "saya cuma perlu liat kamu minum itu. Mereka juga pasti gitu." Ia menunjuk ke arah Ari dan Evita yang sedang mengobrol sambil menonton tv di konter.

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang