(10) La Douleur Exquise

87 9 5
                                    

"Gilaaa, panas banget!" Alex berseru dengan berisik, masuk ke mobil begitu Ari menepi di sebuah tikungan.
Saat itu Ari sedang dalam perjalanan kembali dari mengantar Evita pulang ke rumahnya di daerah Buah Batu setelah menemui pemasok biji kopi ketika Alex menelepon dan minta tebengan ke studionya karena kebetulan ia juga sedang berada di sekitar situ. Ari menyesal sudah mengangkat telepon Alex dan berkata ya.

Berada di dalam Charmant tua ibunya saja sudah begitu menyesakkan, belum lagi harus ditambah dengan permintaan Alex barusan. Ari berharap ia berada dalam posisi yang pantas dan masuk akal untuk menolak. Kenyataannya? Alasan untuk merasa kesal karena permintaan itu pun ia tidak punya.

"Kena heat stroke kayaknya gue kalo sepuluh menit lagi masih berdiri di situ."

Dasar manja, rutuk Ari dalam hati.

"Untung lo lagi di luar, Ri." Alex nyengir ke arahnya. Ari diam saja, memperhatikan jalannya. Alex memperbesar AC lalu mengibas-kibaskan topi baseball-nya.

"Udah makan belom?" Tanyanya.

"Udah." Jawab Ari ketus, masih sambil mencengkeram setir kuat-kuat.

"Gimana supplier-nya tadi?"

"Bagus."

"Jadi mau pake mereka aja? Kapan mulai?"

"Kalo udah deal minggu depan."

Alex diam sesaat, kini mengeluarkan ponselnya dan sibuk membalas pesan.

"Gue udah nanya belom, tadi lo udah makan atau belom?" Ia bersuara lagi.

"Udah."

"Udah nanya atau udah makan?"

"Lex, bisa diem nggak sih, lo? Nggak liat gue lagi nyetir?" Ari hilang sabar. Suaranya sudah kelewat melengking karena kesal.

Alex tertegun. "Biasanya, kan juga nyetir sambil ngobrol. Sambil makan malah." Ujarnya hati-hati.

"Males ngobrol sama lo. Gue nggak bisa bedain mana yang bener dan yang bohong." Ari merendahkan suaranya sekarang.

"Bohong? Gue? Maksudnya?" Alex lalu terdiam seketika, tersadar akan sesuatu. "oh, itu." Ari masih bungkam.

"Lo marah karena gue nggak ngabarin balik cepet dari Bangkok atau--"

"Sejak kapan kita saling ngabarin? Pacar lo yang kudunya lo kabarin bahwa sekarang ada cewek tinggal serumah sama lo dan lo masakin setiap berapa hari sekali. Udah?" Tandasnya dalam nada sarkasme maksimal. Sunyi beberapa saat.

"Namanya Kartika." Ucap Alex pelan.

Ari makin erat mencengkeram setir. "Gue mau pindah ke rumah Jason aja."

"Jason siapa lagi?"

"Alex, sekali lagi gue tanya, sejak kapan kita saling kabar mengabari, terutama soal pacar gue?"

"Tinggal di rumah gue aja pokoknya. Lo bilang bentar lagi kamar lo selesai, kan? Lo bukan sekedar manusia, Ri. Lo juga perempuan. Gue nggak mau liat lo hidup sembarangan sama cowok nggak jelas kayak pacar-pacar lo."

Sontak Ari menepi dengan kecepatan yang membuat kendaraan-kendaraan lain di belakangnya mengklakson dengan kesal dan tubuh Alex terdorong ke depan.

"Turun." Tukas Ari dingin.

"Yah, Ari. Gue nggak maksud bohong dan nggak maksud ngomong gitu. Sori..."

"Turun."

Alex akhirnya turun tanpa perlawanan. Ia paham kondisinya tidak tepat untuk memohon maaf. Segera setelahnya, Ari melajukan mobilnya kembali, meninggalkan Alex kepanasan di depan gerbang ISBI.

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang