Dannisa terbangun sendiri karena suara-suara tidak tenang dari tempat tidur sebelah. Ia meraih ponselnya dari balik bantal. Hampir pukul dua pagi. Ia lalu berguling dan mendapati Hanan di tempat tidur sebelah sedang duduk di tepi kasur, memunggunginya, menghadap pintu kaca geser yang tirainya terbuka lebar.
"Kenapa, Nan?" tanyanya dengan suara serak. Rasanya ia baru tidur selama sepuluh menit. Hanan tidak menjawab.
"Udah malem banget ini. Kamu harus tidur..." ulang Dannisa. Radarnya menangkap sesuatu yang tidak biasa.
"Buat apa, ya kita ke sini, Dan? Lari? Mau lari ke mana?" ujar Hanan pelan dan lambat.
"Kamu sakit?"
Sepersekian detik kemudian barulah Dannisa menyadari dirinya benar. Hanan memang sakit. Perjalanan mereka hari itu membuatnya lupa sesaat.
"Tunggu sebentar." Dannisa beranjak dari tempat tidurnya menuju lemari pakaian sedang di dekat pintu kamar mandi. Ia membongkar tas ransel Hanan, mencari-cari sesuatu dalam ketenangan yang bersisa sedikit dan ia jaga setengah mati. Dannisa tidak menemukan apa-apa lagi selain beberapa helai pakaian. Tidak ada satu pun tabung kecil yang ia lihat di cermin wastafel Hanan saat itu. Panik mulai merambatinya.
Dalam kebingungannya, Dannisa menghampiri Hanan kemudian duduk di tepi kasur dengan hati-hati seolah tempat tidur itu terbuat dari porselen yang jika terguncang sedikit akan pecah berkeping-keping.
"Nan, kamu, kamu tidur aja, ya. Nanti kita pulang pagi-pagi banget."
"Kamu aja yang tidur," seraya memosisikan diri untuk berbaring memunggungi Dannisa, Hanan berujar.
Dannisa menghela napas berat. Mana mungkin ia bisa tidur dengan melihat Hanan dalam depressive episode yang selama ini hanya bisa ia bayangkan. Ia menggeser duduknya lebih dekat pada Hanan yang berbalik perlahan, menghadap dirinya yang masih duduk di tepi. Pipi Hanan menempel pada permukaan bantal yang wangi pelembut. Wajahnya lelah. Matanya tampak memerah dan sembab. Perasaan nyeri yang sama dengan yang dirasakannya di kamar mandi Hanan dulu kembali lagi. Kali ini bahkan lebih kuat.
"Kalo kamu nggak tidur, saya juga nggak akan tidur," tukas Dannisa tegas. Untuk beberepa saat mereka hanya saling pandang.
"Tadi saya mimpi," Hanan berkata pelan, seolah semua energinya tercabut keluar. Dari satu kalimat itu saja Dannisa tahu ia harus menyiapkan diri untuk apapun yang datang setelahnya. "Saya mimpi saya ada di gerbong kereta. Kereta yang panjang dan berjalan. Gerbongnya gelap. Di luar gelap. Saya satu-satunya penumpang di situ. Kursi-kursinya kosong. Saya jalan dari satu gerbong ke gerbong lain yang semuanya keliatan mirip dan banyak. Rasanya saya muter-muter di gerbong yang sama, kayak, kereta itu nggak ada lokomotifnya."
Dannisa menyadari ada perubahan yang kentara di suara Hanan yang lama-lama bergetar.
"Terus saya liat titik kecil yang terang di ujung gerbong, entah gerbong ke berapa. Saya lari ke sana. Sayup-sayup saya denger suara perempuan. 'Biarin saya pulang,' katanya." Hanan menarik napas. Setitik kecil air mata mengalir, ke bantalnya bersamaan dengan setiap kata yang ia ucapkan, "'biarin saya pulang', 'biarin saya pulang', katanya... Satu kali... Dua kali... Tiga kali... Empat kali... Lima kali... Enam kali..."
Tidak tahan lagi menyaksikannya Dannisa sepenuhnya naik ke tempat tidur. Ikut berbaring di sisi Hanan. Didekapnya kuat-kuat tubuh Hanan yang gemetar seperti bayi.
"Nggak apa-apa sekarang... Kamu nggak di sana lagi..." bisiknya berulang-ulang di puncak kepala Hanan.
Dannisa melihat sebuah titik terang seperti Hanan melihat titik terang di mimpinya. Meski tidak sepenuhnya jelas, ia mengutuk siapapun itu yang membuat Hanan jadi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...