*Maudlin: (adj.) feeling sad and sorry for yourself, especially after you have drunk a lot of alcohol.
Tidak pernah dalam seumur hidup mereka tumbuh bersama, Evita menolak kedatangan Ratih, sepupu terdekatnya. Tapi kedatangannya ke Sunday Morning, pagi-pagi Rabu itu, membuat jantungnya berdebar dengan cara yang sudah tidak masuk akal.
Ia jadi semacam wedding supervisor Evita. Datang ke rumah atau ke kedai, bertanya ini itu, bagaimana venue-nya, baguskah catering-nya, kapan undangan mulai disebar, bolak-balik menawarkan diri memilih dekorasi, flower arrangement, dan lain-lain. Ibunya dan ibu Juno saja tidak bertanya sesering itu. Kalau saja Evita tega, ia sudah meminta Ratih 'santai saja' dengan persiapan pernikahan Evita dan mengurus semuanya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan dan obrolan mereka tentang pernikahan cuma membuatnya makin frustasi.
"Kemarin jadi ke workshop kebaya yang aku WhatsApp?" tanya Ratih segera setelah Evita meletakkan segelas iced americano dan teh melati panas di konter. Sepertinya Ratih tidak bisa lagi menahan pertanyaannya selama Evita sengaja berlama-lama mencuci piring di dapur tadi.
"Nggak jadi. Reschedule." Evita duduk di bangku tinggi di sampingnya.
"Hmmm... Balik ke Jakarta lagi dia?"
Evita mengangguk secukupnya. "Besok malah mau terbang ke KL. Lagi."
"Ya udah, ya udah..." Ratih menepuk-nepuk bahu Evita. "Masih ada besok-besok."
"Besok-besok beda lagi yang diurusinnya. Catering belom selesai dipilih juga, belom belanja souvenir, belom ngambil cincin. Gila, ya, udah tahu banyak yang harus diurusin masih juga ke sana kemari," repet Evita cepat.
Inilah kenapa Evita malas sekali menghadapi Ratih akhir-akhir ini. pembicaraan sekecil apapun soal persiapan pernikahan ini jadi mudah sekali memancing kekesalannya.
"Udah, deh. Mau diapain lagi. Memang begitu keadaannya sekarang."
"Mana lagi sakit lagi pula. Kemarin telepon gue jam 2 pagi, bilangnya demam, meriang, panas dingin. Nggak ada yang rawat. Tapi hari ini pake maksain berangkat sendirian subuh-subuh. Dulu ngatain gue jadi budak korporat. Sekarang sendirinya udah jadi budak korporat aja tau-tau." Evita berdehem, mencoba menelan kekesalan dan menyadari ia tidak sengaja ber-gue-elu pada Ratih. Hasil bergaul bertahun-tahun dengan dua wanita gaul Jakarta.
"Kamu tuh, ya. Dari dulu apa-apa selalu harus dikerjain sendiri. Santai, kenapa? Kan, banyak yang bisa bantuin. Urusan yang masih bisa diselesein tanpa Juno coba minta bantu sama aku atau sama sepupu-sepupu lain aja."
Evita menghela napas lalu menenggelamkan wajah pada telapak tangan. "Nggak tau lagi deh aku, Tih. Capek banget. Boleh, deh kalo harus bolak-balik ngurus venue, ngurus katering sendirian, apapun. Tapi kalo harus ketemu bibi sama uwa-uwanya Juno kayak minggu lalu lagi, uuuh makasih deh. Nggak sanggup."
Ratih tertawa kecil. "Yang sabar. Bawa santai aja. Aku juga dulu begitu, stres sendiri. Tapi lama-lama, kan jadi mikir juga, ngapain distresin, malah dobel capeknya."
"But you got Dimas on your side," Evita berkilah.
"Nah, jangan bilang you didn't get Juno on your side. Kamu aja yang kadang nggak nyadar sebenernya Juno itu ada di mana di hubungan kalian."
Evita bungkam. Rasanya tidak masuk akal tapi tehnya terasa menyengat ulu hati hari ini.
"Kenapa aku terus-terusan mikir aku nggak sanggup hidup sama laki-laki, ya," Evita memandang cincin yang melingkar di jarinya. "Maksud aku, I don't even think about calling off the wedding tapi..."

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...