(1) Ephemeral

347 18 11
                                    

08.15.

Morning run, checked.

Morning tea, checked.

E-mail, checked.

News updating, checked.

Yoga? mungkin Evita harus mulai lagi Minggu depan. Entah yoga atau pilates. Akhir-akhir ini tubuhnya terasa lebih kaku dari biasa. Padahal jumlah klien yang ditanganinya sudah lama tidak sebanyak dulu. Ia menganggap tubuhnya yang kaku-kaku adalah justru karena ia kurang bekerja.

Evita duduk di kursi rotan panjang di teras belakang rumahnya yang menghadap ke koleksi anggrek Maudy, ibunya, di taman berumput teki. Ia menyesap teh hitamnya, merasa-rasai sedikit pahitnya di lidah. Udara Bandung yang katanya sudah tidak sejernih dulu masih terasa menyegarkan baginya. Sampai titik ini, segalanya sempurna.

Evita mengeluarkan ponsel dari saku jaket parasutnya. Masih tidak ada notifikasi baru selain dua surel dari kantor dan satu SMS dari operator selular. Ia mengetuk satu nama paling atas di daftar panggilannya. Pukul 23.23 WIB. Panggilan keluar terakhir yang dilakukannya tadi malam. Ia menunggu nada sambung. Sedetik, dua detik. Lagi-lagi yang terdengar malah suara operator yang akhir-akhir ini ia benci.

Ia memutuskan sambungan dan meremas ponselnya gemas. Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali ia mendengar suara orang itu. Tidakkah ia merasa ini keterlaluan? Pikirnya.

Evita menandaskan tehnya kemudian beranjak dari bangku rotan itu. Andai saja ia bisa minum sesuatu yang lebih kuat, ia butuh kopi yang orang bilang lebih berfungsi menyembuhkan dan menenangkan.

***

Pada hari yang sama, masih dengan mata terpejam Dannisa meraba-raba waktu. Rasanya masih pukul setengah empat pagi, baru sepuluh menit ia tidur. Tapi ponselnya sudah berdering nyaring dan seingatnya ia tidak menyalakan alarm. Siapa yang berani-berani telepon jam segini? Rutuknya setengah sadar.

Satu persatu inderanya berkumpul kembali. Dannisa memicingkan mata karena sinar matahari yang menusuk melalui jendela bertirai hijau kusam di kaki tempat tidurnya. Ia meraba-raba bagian bawah bantalnya, mencari ponselnya yang berdering makin lama makin keras. Tanpa perlu melihat siapa yang menelepon, ia mengangkatnya.

"Masih di Yogya kamu?" terdengar suara Yulia, ibunya, di seberang.

"Masih lah, Bu. Memangnya aku bakal ke mana?" Jawabnya dengan suara serak. Ponselnya ia simpan di pipi sementara tangannya menarik kembali selimut yang merosot sampai ke pinggang.

"Kalo gitu kenapa ndak pulang-pulang? Nggak pulang hari lain, hari Minggu mbok ya pulang."

"Lagi banyak kerjaan."

"Kerjaan? Kamu punya kerjaan apa?"

Dannisa menghela napas, "aku nggak mau berdebat lagi soal itu. Apalagi sama Ibu."
"Sekarang juga kamu pulang. Makan malem di sini." Dannisa menyadari nada bicara Yulia yang sedikit kesal. Ia tidak menjawab.

Setelah Yulia menutup telepon, keinginannya untuk kembali tidur seketika lenyap. Ia bangun dan duduk di tepi kasur. Jam pada ponselnya menunjukkan pukul 10 pagi lewat beberapa menit. Ia menyesal sudah mengangkat telepon itu. Harusnya ia pura-pura tidak dengar saja dan tidur sampai tengah hari karena saat ini kepalanya bukan main berat sebelah.

Dannisa menyerah. Mau tak mau ia bangkit, teringat artikel yang sedang ia kerjakan untuk sebuah blog kecantikan yang harus diserahkannya pada klien pukul 2 siang ini. Ia tiba di tempat yang ia sebut dapur, hanya dua langkah jaraknya dari tempat tidur. Dapurnya berupa sebuah penanak nasi mini, termos kecil, sebuah piring berserta sendok dan garpu, dan sebuah gelas belimbing yang diletakkan di atas meja kayu merah berbentuk persegi setinggi lututnya. Tidak ada dispenser atau kompor apalagi kulkas dan bak cuci piring. Kamar indekosnya hanya muat untuk satu tempat tidur, dapur-dapuran tadi, satu lemari plastik, dan satu meja kerja yang biasa ia pakai bekerja dengan laptop-nya dan menyimpan buku-buku dan kertas-kertas. Ini adalah yang termewah yang bisa ia dapatkan selama lima tahun belakangan.
Termasuk sarapannya hari ini.

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang