(43) The Memory of None

26 6 0
                                    

Dannisa menggenggam erat ponselnya. Layarnya masih menunjukkan pesan yang sama. Sebuah undangan 'stage 2' dari Hanan berikut sebuah alamat yang menuntunnya ke area vila yang berbukit-bukit di daerah Lembang. Ia mendesah keras. Ia tahu apa maksud undangan itu dan ia tidak siap. Masih terlalu pagi untuk berhadapan dengan apapun itu makhluk misterius yang menghantui mereka berbulan-bulan.

Namun di sanalah ia berdiri Minggu pagi itu. Di depan sebuah gerbang kayu berat yang membentengi mulai dari ujung jalan terus hingga ujung jalan satunya. Seakan-akan ada lapangan bola di balik benteng kayu bercat coklat setinggi dua meter itu. Luasnya seragam dengan vila-vila lain yang ia lewati tadi. Daun-daun pohon cemara balapan menyembul di sepanjang benteng, membuat pagar lapis kedua.

Ia naik ke undakan pintu gerbang utama dan menekan bel dengan jantung berdebar tak karuan. Di dekat tombol bel tampak sebagian kayu yang warnanya lebih gelap dari kayu di sekitarnya. Seperti ada pelat atau plang berbentuk persegi yang dicabut baru-baru ini setelah digantung untuk waktu yang lama.

Tidak butuh lama bagi Dannisa untuk menunggu karena pintu kayu itu terbuka segera. Hanan tersenyum di hadapannya. Masih sesehat terakhir kali ia melihatnya di liburan mereka yang terlalu singkat.

"Udah dateng?" Hanan tersenyum cerah. Senyumnya yang biasa. Kontras dengan Dannisa yang memaksa diri tersenyum dan malah tampak sedang meringis.

Hanan memersilakannya masuk. Dugaan Dannisa selagi menunggu di luar gerbang tadi tidak salah. Memang ada lapangan bola membentang di balik gerbang itu. Bedanya, alih-alih bertanah datar, tanah lapangan bola ini berbukit, membuatnya tampak lebih luas lagi. Rumputnya hijau segar dan terpangkas rapi. Pohon-pohon cemara dan pohon-pohon berdaun jarum lainnya mengitari sekeliling area halaman dan sebuah rumah bergaya modern tropis dua lantai berdiri di salah satu bukit. Meski besar, rumah itu tampak kecil karena berdiri di atas lapangan bola.

"Stage 2," ujar Hanan selagi mereka menyusuri jalan setapak batu dan tiba di teras depan.

Dannisa terkesan dengan jendela-jendela besar dan kisi-kisinya tidak cuma di muka rumah tapi juga di sekelilingnya. Hanan mendorong pintu gandanya. Rumah itu tampak kecil dari luar tapi terasa besar di dalam. Langit-langitnya tinggi. Begitu masuk, ia menemukan foyer dengan sebuah meja bundar di tengahnya dan sebuah vas bunga berisi beberapa tangkai bunga bakung putih. Sebuah tangga di sisi kanan ruangan. Dannisa menarik kembali dugaannya bahwa Hanan tinggal di sebuah vila karena rumah itu tampak seperti rumah yang ditinggali sehari-hari. Seorang wanita paruh baya menyambut mereka dengan senyum lebar.

"Hai. Ini Dannisa, ya?" Wanita itu mengulurkan tangan, tampak antusias. Dannisa membalasnya diiringi anggukan ramah.

Susah payah Dannisa berhenti menatap wanita itu lekat-lekat. Ia tidak mengerti. Wanita itu berwajah Indonesia tulen. Rambut ikal sebahunya hitam legam. Kulitnya sawo matang dan tak ada gurat ras kaukasoid sedikit pun di wajahnya. Selama ini Dannisa membayangkan ibu Hanan seperti aktris film asing dengan tubuh kurus tinggi semampai, rambut pirang madu, mata hijau atau biru, dan senang berpakaian seperti wanita Inggris tahun 50-an. Ketika kadang imajinasinya meliar, Dannisa bahkan membayangkan ibu Hanan akan menyambutnya suatu hari dengan bahasa Inggris dan Indonesia berlogat Perancis yang kental.

Jika bukan ibunya, pastilah ayahnya, meski itu juga tidak membuatnya yakin karena nama belakang Hanan tidak menunjukkan demikian. Atau mungkin wanita ini saudara sepupu, tante, atau kerabatnya, Dannisa berpikir.

"Ini ibu saya, Dan. Terserah, deh, mau panggil apa aja boleh asal jangan 'mbak' atau 'teteh'. Ibu benci banget." Hanan menyengir jahil.

"Ya, masa panggil 'mbak', Nan." Wanita itu mendelik lucu "Tante Widuri boleh. Biarpun saya sebetulnya nggak mau dianggap tante-tante."

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang