(40) The Dead Man's Hand

23 5 2
                                    

Ari lupa kapan terakhir kali ia datang ke bekas kantornya itu malam-malam. Bertahun-tahun lalu ia rasa. Sewaktu dirinya masih bekerja layaknya orang kesetanan. Mendatangi tempat itu lagi jujur saja membuatnya gugup. Tapi demi Agnar yang sedang lembur dan menolak makan dan pulang sebelum pekerjaannya selesai, dan demi dirinya sendiri yang sedang bingung mau ke mana ketika ia terlalu lama sendirian di apartemen Agnar, Ari pergi ke tempat itu lagi. Entah cinta atau apa yang membuatnya jadi seperti itu, pikirnya. Haram sebenarnya bagi Ari untuk menginjakkan kaki di sana lagi setelah ia menyerahkan surat pengunduran dirinya tahun lalu. Tak bisa ia bayangkan apa yang akan dikatakan seisi kantor jika ada yang melihatnya melenggang ke surga dunia yang ia tolak itu. Mungkin lebih buruk dari percakapan yang ia curi dengar di toilet dulu.

Dan, benar saja. Begitu ia masuk ke lobi gedung, ia seperti pohon yang digelantungi sarang lebah penuh lebah-lebah yang berdengung. Beberapa karyawan Warren yang ia kenali baru akan pulang. Ia terlalu percaya diri menganggap hanya akan ada dirinya, Agnar dan mungkin beberapa satpam saja malam ini. Orang-orang itu berjalan melewatinya seperti melewati tong sampah berjalan.

Ari merutuk dalam hati, belum pernah lihat perempuan membawa kotak bekal? Belum pernah lihat hal lain di tangan Arianne selain handbag desainer dan tangan pria ganteng dan seksi?

Akhirnya tiba juga ia di lantai delapan. Lega sekali rasanya lepas dari lebah-lebah kurang kerjaan tadi dan kembali menjejaki ruangan-ruangan berdinding kaca itu. Ari tidak pernah merindukan tempat itu tapi ia suka berada di sana lagi, mengingat bagaimana satu-satunya hal yang ia suka dari tempat itu adalah berdiri di balik dinding kaca, melamun memandangi pemandangan lampu kota sebelum pulang kerja. Sekarang Agnar yang berdiri di sana, di sebuah ruang kerja baru yang seluruh dindingnya berlapis kaca, menghadap ke dinding bagian luar, dua tangannya berada di dalam saku celana abu-abu gelapnya. Ari menunggu sebentar sebelum mengetuk pintu, berlama-lama menikmati penampakan Agnar dari belakang. Bahu lebarnya tercetak jelas di balik kemejanya yang agak kusut. Bahu yang hingga saat ini sudah berkali-kali ia peluk dan ia sandari.

"Tok, tok." sapanya, mendorong sedikit pintu kaca yang ternyata tidak dikunci. Agnar menoleh kemudian tersenyum lebar.

"Hey, dear. Ke sini sama siapa? Aku rencananya mau pulang sebentar lagi." Agnar lalu menyambutnya dengan satu kecupan singkat di pipi.

"Konsultan kelas S memang beda, ya, dikasih ruangan sendiri sekarang. Dulu konsultan di sini kerjanya sehari bolak-balik airport-hotel-kantor-hotel-airport aja. Tiga, empat kali seminggu. Sekarang ada apartemen, ada delivery makan malem segala."

Agnar terkekeh, mengikuti Ari duduk di sofa dan membuka kotak bekal yang Ari bawa dengan antusias. "apartemen, delivery makan malem, dan koki cantik yang bikin surprise nganter sendiri delivery-nya."

"Kamu yakin aku yang bikin ini? Nggak curiga aku beli gitu?"

"Pasti kamu. Evita nggak mungkin goreng telurnya coklat gelap gini." Ia mengacungkan telur dadar gulung yang agak gosong ke arah Ari.

Ari tertawa malu. Selain fakta menakjubkan bahwa ia menjejakkan kaki di Warren lagi, fakta bahwa ia memasak untuk orang lain lebih mengejutkan bagi dirinya sendiri. Nasi goreng rumput laut dan telur dadar gosong ini sesungguhnya tidak membuktikan apa-apa selain bahwa Ari sedang berusaha keras berhemat sambil tetap ingin Agnar memandangnya sebagai wanita yang sedikitnya bisa membuat sesuatu bagi prianya untuk dimakan.

Prianya. Ari belum terbiasa dengan itu.

"Kamu sengaja belum makan biar aku yang bawain makannya ke sini, ya?" Ari usil menggodanya. Tapi ternyata Agnar selalu satu langkah lebih maju.

"Kebalik. Aku sengaja belum makan karena aku tahu kamu bakal ke sini."

Ari terkekeh.

"Udah sepi, Nar. Kamu udah selesai?" Ari memandang berkeliling. Tidak ada lagi yang ia dengar selain sesekali suara keletuk sepatu sekretaris Papanya yang masih belum pulang di koridor lantai delapan itu.

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang