(28) The Wake-Up Call

29 7 1
                                    

Evita berpikir ia harus berterima kasih pada Ari karena telah menjaga Alex selama bertahun-tahun. Sebelumnya Evita tidak tahu akan merasa seberuntung ini punya teman lelaki bawel seperti dia. Alex menghindarinya dari mendengarkan suara-suara di kepalanya yang tidak berhenti menggugat dan menuding setiap kesalahan Juno dan cacat hubungan mereka. Otaknya sudah beracun.

"Vit, lo dengerin gue nggak?"

"Iya, dengerin," jawabnya sembari meraih sekantung besar rolled oat dari rak lalu memasukkannya ke dalam troli yang Alex dorong.

"Gue ngomong apa coba barusan?"

"Lo datengin Kartika malem-malem terus ngajak balikan sementara lo punya gebetan baru, dan gue harus tutup mulut soal itu. Ada lagi yang lain?"

"Lo harus kasih tau gue kenapa gue nggak bisa berenti pengen ngajak Kartika balikan. Lo, kan expert."

"Teori gue adalah lo nggak bisa move on atau nggak bisa nggak punya pacar," jelasnya lagi, kini memasukkan sekotak teh hitam belanjaan pribadinya.

"Vit, ayolah. Gue udah lewatin masa-masa mikir itu. Itu denial. 99 persen. 1 persen sisanya adalah ya... mungkin elo ada benernya."

Evita mulai lelah mendengar celotahan pria bawel satu ini tapi tidak selelah menjelajahi seisi swalayan, memasukkan ini itu dan mencocokkannya dengan secarik daftar belanjaan kedai sembari menyusuri lorong-lorong panjang. Jika bukan Alex yang tahu-tahu datang ke toko dan menyanggupi diri untuk menggantikan Hanan, ia akan lebih memilih untuk tidur di toko sampai sore. Sekarang Evita merasa seperti sedang mendengarkan curhat seorang gadis populer di SMA yang naksir anak lelaki kelas sebelah. Sungguh hiburan nomor satu bulan ini.

"Lo yakin lo straight?"

Alex berhenti mendorong troli dan menatap Evita tajam, "sori, maksud lo...?"

Evita berjalan lagi, "lo sama sekali bukan laki-laki brengsek."

"Jadi kalian berdua sharing kategori laki-laki yang sama? Dannisa juga?"

"Dannisa, sih penganut paham itu sejak lama."

Alex menghela napas. Selesai dengan topiknya karena jawaban yang sama sekali tidak solutif.

"Oh iya, lo juga nggak boleh bilang siapa-siapa soal yang gue omongin sebelom ini."

"Siapa? Gebetan baru lo? Marissa?"

"Sabrina. Tuh, kan lo nggak dengerin gue."

"Kenapa?" Evita menyodorkan daftar belanjaan yang sudah ia coret semua pada Alex.

"Ari berubah jadi kayak emak-emak kalo gue punya pacar. Galak. Sentimen. Bawaannya marah-marah mulu tiap deket gue. Lagi nggak deket gue aja sering sengaja telepon gue atau WA gue cuma buat ngomel-ngomel, cari-cari kesalahan. Emak gue sendiri aja santai," Alex merepet. Evita ingin tertawa tapi lagi-lagi hanya berhasil tersenyum tertahan.

"Oke. Gue catet. Ada lagi yang nggak boleh gue bilang?"

"Lo nggak boleh bilang gue nggak suka sama temen Ari yang itu. Semenjak pulang dari Singapura, di depan gue kerjaannya lirik ponsel tiap 30 detik sekali. Seolah-olah si siapa, tuh namanya, jodoh barunya? Amar?"

"Agnar."

"Agnar. Seolah-olah si Agnar itu laki-laki nganggur yang tiap hari kerjanya ngintilin dia mulai dari dia bangun tidur sampe ke gym, ke mall, ke salon, sampe ke kedai lagi. Persis semua laki-laki kacungnya selama ini. Padahal dari semua laki-laki yang gue liat deket sama dia, ini doang laki-laki yang paling sok sibuk."

Evita tertawa kecil, "merhatiin banget, ya lo. Yakin lo nggak suka ditempelin sama Ari?"

"Itu pertanyaan macam apa lagi?" Alex tampak tersinggung.

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang