"Dan, kok gue merasa apa, ya..." Evita bergumam pelan.
"Tua. Menyedihkan."
Mereka bertiga berdiri memandang bangunan bernama Gran's Coffee itu dengan tatapan ragu dan tidak percaya. Evita berdecak. Tidak sabar, ia masuk lebih dulu. Mau tidak mau keduanya mengikuti.
Di dalam, wanita tua yang sama dengan yang Evita lihat kemarin, datang menyambut. Mereka menaksir wanita itu berusia sekitar 60 hingga 70 tahunan. Punggungnya sedikit bungkuk. Rambut sebahu yang seluruhnya putih diikat ekor kuda. Jejak-jejak kecantikan masa mudanya masih tersisa di kulit cerahnya yang keriput. Langkahnya hati-hati dan lamban mendekati mereka bertiga yang masih berdiri menunggu di dekat pintu.
Tempat itu tampak kecil dari luar, lebarnya hanya tiga atau empat meter tetapi memanjang ke belakang. Sekitar sepuluh hingga 15 meter. Lantainya terbuat dari semen yang dipoles mengilat. Dinding ruang duduk utama itu terdiri dari setengah batu bata kecoklatan yang mereka yakin dulunya berwarna merah dan setengah panel kayu kusam. Pencahayaannya berasal dari sebuah lampu gantung kuningan yang dipasang di tengah langit-langit ruangan dan lampu-lampu jingga di beberapa sudut. Seluruh ruangan berselimut cahaya redup. Di sudut di ujung ruangan, terdapat sebuah tangga spiral besi yang sisi masuknya berhadapan dengan sebuah kusen tanpa daun pintu yang jelas sekali merupakan dapur karena ada jendela lebar yang menghubungkan dapur itu dengan konter yang terletak di sisi kanan ruangan. Bau apak dan semilir wangi kopi bercampur di udara pengap.
"Selamat datang. Mau kopi? Atau mau lihat-lihat bangunan?" Sapanya hangat dengan suara sedikit bergetar.
Evita mendahului mereka bersalaman dan memperkenalkan diri, diikuti Ari dan Dannisa. Evita membuka mulut, "beberapa hari lalu saya lihat spanduk di depan." Nenek itu mengangguk paham, "tapi kopi juga boleh."
Nenek itu memersilakan mereka duduk di salah satu kursi rotannya sementara ia meracikkan kopi mereka di sebuah konter kayu. Ujung gaun panjang bunga-bunga yang membalut tubuh kurus dan mungilnya menyapu lantai.
"Saya Nancy. Langganan saya dulu sering panggil saya Oma Nancy. Toko ini saya punya sejak tahun 64." Ujarnya, berdiri di balik konter. Ari melihatnya memegang sebuah benda yang tampak seperti teko sederhana yang warna peraknya sudah kusam.
Tiba-tiba Ari mencelat dari kursinya, "saya bantuin, saya bantuin!" ia bergegas menyusul Oma Nancy ke balik konter.
"Percolator tahun berapa ini, Oma? Wah... udah jarang yang pake ini sekarang. Harta karun ini." Ari terkagum-kagum memandangi benda di tangan Oma Nancy itu.
"Sepertinya saya jarang ganti peralatan itu ide yang bagus, ya." Oma Nancy tersenyum.
Oma Nancy adalah orang yang hebat. Cerita dan espresso buatannya membuat mereka bertiga tidak sadar sudah dua jam duduk di sana. Beliau dan suaminya yang orang Inggris membangun Gran's Coffee sejak mereka menikah pada tahun yang sama. Dulu tempat itu ramai dan digemari. Bukan yang paling populer di sepanjang jalan itu tetapi punya banyak pelanggan yang bahkan sesekali masih datang hingga bertahun-tahun kemudian.
Pada tahun 2004, suaminya meninggal karena sakit. Dua anak laki-laki mereka pindah ke Belanda untuk bekerja dan mengajaknya serta. Tetapi Oma Nancy menolak dan memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mereka yang tidak jauh dari sana dan membuka kedai setiap hari, bersama seorang wanita yang menjadi pembantu mereka selama bertahun-tahun. Sayang jika Gran's Coffee dilepas begitu saja pada orang yang tidak mengerti nilai tempat itu yang sebenarnya, begitu alasan Oma Nancy. Buah cintanya, cermin perjalanannya bersama sang suami ini membutuhkan lebih dari seorang pemilik.
Beliau bertahan merawat kedai selama lebih dari 20 tahun. Lama-kelamaan toko semakin sepi dan pelanggan mereka tidak lagi datang. Lalu akhirnya, beberapa tahun lalu beliau memutuskan untuk menjual tempat itu. Kesehatannya yang terus menurun membuatnya mudah lelah dan jatuh sakit. Beliau berencana pindah mengikuti dua anaknya begitu kedainya terjual.
"Oma mau jual tempat ini berapa?" Tanya Ari.
"Berapa yang kalian punya?"
"Nggak banyak, Oma." Dannisa yang menjawabnya. Ia menyebutkan jumlah yang berhasil Evita dan Ari kumpulkan dan rencana mereka dengan tempat itu nantinya. Oma Nancy memandangi mereka lamat-lamat, melihat melewati mata mereka. Seakan-akan mencari sesuatu yang tidak terbaca di permukaan. Ketiganya menunggu penuh harap.
Oma Nancy menyebutkan harga dua pertiga dari rata-rata harga bangunan komersial di jalan itu. Pas sekali dengan semua yang Ari punya.
"A helping from sweet heaven." Bisik Ari penuh syukur. Dannisa dan Evita bertukar senyum lega.
"Akhirnya saya mengerti kenapa saya sampai menunggu lama. Karena tempat ini ternyata hanya berjodoh dengan kalian. Saya yakin kalian akan merawat tempat ini dengan benar." Oma Nancy menggenggam tangan ketiga gadis itu erat-erat.
Dengan demikian, mereka resmi mendapatkan tempat itu satu bulan kemudian.
***
Awal Agustus itu remodelling dimulai. Mereka memutuskan untuk mempertahankan struktur bangunan serta flooring awal dan hanya akan melakukan perbaikan kecil di sana-sini. Ari dapat tugas mengurus pengecatan ulang dan penggantian peralatan saluran air, Dannisa mengurus kursi-kursi, meja, hingga sofa yang akan diletakkan di lantai dua, sementara Evita mengurus perihal surat-menyurat, termasuk ijin usaha, dan lain sebagainya karena hanya ia yang ahli.
Beberapa hari mereka hanya datang sesekali, mengawasi para pekerja mengecat atau mengganti kusen pintu dan jendela. Beberapa hari lainnya, mereka tampak ada di sana seharian; Ari berlatih meracik kopi disela kesibukannya mengikuti kursus barista, Evita membuat menu makanan, dan Dannisa--dengan bantuan Juno yang kadang datang bersama Evita--membuat pajangan dan hiasan dinding dari cat semprot, daun-daunan, kaleng bekas, karung goni, atau apapun yang bisa mereka dapat dengan harga murah bahkan gratis.
Tidak hanya dari Juno, bantuan lain mereka dapat bantuan dari Alex dan teman-teman band-nya yang menyumbangkan beberapa speaker kecil dan CD player tidak terpakai dari studio mereka. Selain itu mereka juga membantu memasangkan sound system-nya dan mengangkut beberapa furnitur tanpa diminta. Jika sudah begitu, Evita akan memanggang banyak sekali kue sampai membuatkan makan siang sebagai terima kasih.
Tidak satupun dari ketiganya yang menyangka celetukan Ari waktu itu akan jadi sejauh ini. Setelah beberapa saat, mereka mulai terikat dengan tempat itu dan kini menganggapnya sebagai kesempatan kedua, pintu yang mereka buka setelah meninggalkan pintu-pintu yang tertutup.
*Eunoia: (n.) a beautiful thinking.

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...