"Okay, that's a wrap. Mulai besok masing-masing kasih progress report harian." Dewa, pimpinan rapat pagi itu, menutup pertemuan mereka. Beberapa orang meninggalkan ruangan.
"Mas," Ari lekas berdiri, menghampiri Dewa di ujung meja.
"Oh, iya, Ri. Video presentasi Bausch and Lomb yang kepanjangan kemarin sudah selesai di-edit?" Dewa membereskan kertas-kertas dan tabletnya di atas meja kemudian beranjak dari ruangan berdinding kaca itu.
Dengan sigap Ari mengikuti langkah cepatnya. "Itu harus saya obrolin sama Mas dulu. Siang ini baru saya ke sana lagi."
"Jadi belum?" suaranya meninggi, "ya, ampun, Arianne, apa saya harus selalu ada di kantor dulu baru kamu bisa selesain setiap kerjaan? Ambil keputusan sendiri nggak bisa?"
"Hmm, itu..."
"Press release yang saya minta mana?" pintanya begitu mereka tiba di ruangan Dewa. Ari menyodorkan sebuah file case berisi beberapa lembar kertas. Dewa membacanya lalu duduk di tepi meja, menghadap Ari yang berdiri canggung.
"Hmm, Mas." Tegur Ari hati-hati. Dewa mendongak sekilas lalu kembali ke press release-nya.
"Account Gaudi nanti kenapa yang pegang jadinya Raditya, Mas? Bukannya giliran saya, ya?"
"Raditya yang dapetin deal account ini jadi saya pikir dia lebih siap untuk handle."
"Tapi, kan Mas Dewa udah janji account selanjutnya saya yang handle."
Ia memasukkan kembali kertas itu ke dalam file case lalu menatap Ari lekat-lekat, "kamu tahu account Gaudi ini segede apa dan waktunya sesingkat apa? Saya nggak berani gambling."
"Maksudnya, Mas?"
"Mau sampe kapan kamu bahas ini? Sabtu ini presscon Bausch and Lomb. Kamu harusnya udah bawain saya video presentasinya sekarang juga."
"Sabtu ini? Lusa?" tukas Ari kaget.
"Terus kamu maunya kapan? Tahun depan aja? Saya juga maunya gitu tapi saya punya kehidupan." Dewa kemudian duduk di kursinya, mengisyaratkan Ari untuk segera keluar dari ruangan lalu berkata lagi, "kamu tanya Raditya aja soal editing video itu. Dan make sure videonya udah di-e-mail ke saya sebelum jam 3 sore ini."
Ari tidak bisa apa-apa lagi selain mengiyakan. Namun baru saja Ari akan menarik pintu, Dewa menambahkan, "satu lagi, Ri." Ari menoleh. "Kalo kamu memang segitu pengennya account ini, kenapa nggak kamu coba aja ngomong sama bapak CEO langsung?"
Ari menatap Dewa lurus. Tidak ada perasaan apa-apa di wajahnya. Beberapa detik kemudian ia beranjak dari sana. Kali ini ia menghadapi semuanya dengan tenang meski langkahnya kembali ke kubikelnya berderap dan pendek-pendek. Nyata sekali kekesalannya.
Terakhir kali ia menuruti emosinya, semua jadi lebih buruk dari situasi awal. Saat itu adalah tahun ketiga Ari bekerja di Warren Communications, agensi PR khusus luxury brand yang dimiliki ayahnya. Posisinya masih Junior Account Executive sementara dua rekan yang diterima dan training bersama dirinya sudah lebih dulu dipromosikan sebagai Account Executive.
Ari bekerja seperti orang gila, siang dan malam, tidak kenal apa itu hari libur dan istirahat, seperti sapi penggarap sawah yang pekerjaannya sudah paten dan tidak perlu diberi pengakuan apa-apa selain diberi makan. Semua hanya agar ia mendapatkan promosi yang sudah seharusnya ia dapatkan.
Semua orang tahu apa saja yang sudah ia lakukan untuk Warren Communications meskipun ia sendiri mengakui jasanya tidak sehebat jasa dua rekannya. Ia bekerja dua kali lipat lebih keras karena ia tahu ia tidak sepintar orang lain dan karena identitasnya selalu menghalangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...