(5) The Right vs. The Good

75 13 10
                                    

Selasa. Hari pertama Evita tanpa pekerjaan. Pagi itu ia terbangun dengan sendirinya. Kepalanya pusing karena terbangun tiba-tiba dan terkejut melihat jam di meja nakas. Pukul sembilan. Sangat terlambat. Evita tidak mendengar alarmnya berbunyi. Tubuhnya seolah tahu bahwa bangun sepagi itu sudah tidak perlu lagi.

Selama beberapa menit Evita hanya terduduk di atas tempat tidur, mendengarkan suara-suara. Tidak terdengar apa-apa selain sayup-sayup suara tv di bawah. Maudy pasti sedang di halaman belakang, merawat tanaman-tanamannya dan ayahnya sudah berangkat mengajar. Dan, pada awal minggu seperti ini biasanya ia sudah duduk di ruangannya, menganalisa progress notes atau bersiap briefing mingguan bersama empat psikolog lain yang selalu ia pimpin. Tapi rasanya sekarang kosong sekali.

Akhirnya ia turun dan menemukan meja makan masih penuh. Masih ada cangkir dan teko teh, juga roti tawar dan selai jeruk kesukaannya. Wangi sup ikan menguar dari tungku kompor. Pagi sekali Maudy memasak.
Evita duduk di kursi rotan di teras belakang. Maudy sedang berlutut di halaman rumput, memangkas rumpun melatinya. Pagi itu agak sedikit gerah.

"Udah bangun, Vit?" Maudy menoleh sebentar. Evita mengangguk.

"Mama mau ke mana jam segini udah masak?"

"Nggak kemana-mana, kok. Kalo-kalo kamu pengen makan siang lebih cepet aja. Kamu udah jarang makan siang di rumah, pasti kangen masakan rumah juga, kan?"

Dalam hatinya Evita merasa sedikit kecewa. Ini terasa seperti perayaan pemecatannya. Kenapa Maudy tidak ikut terpukul seperti yang terjadi padanya begitu ia pulang kantor kemarin malam? Seolah-olah kemarin Evita hanya bersedih karena terlambat masuk kantor. Evita ingin setidaknya ibunya itu menunjukkan duka. Sedikit saja. Agar ia tidak merasa sekosong ini. Tetapi beliau bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.Evita hanya mengatakan iya dengan pelan dan senyum kecil. Ia tahu diam-diam Maudy merayakan ini semua. Maudy hanya tidak tega menunjukkan itu terang-terangan.

Bel pintu berbunyi. Evita bergegas beranjak untuk membukakan pintu. Ia lupa kekecewaannya tadi sesaat setelah ia melihat siapa yang berdiri di teras depannya.

"Hai," Juno melambai kecil, "apa kabar?" Sekalimat itu saja dan mata Evita langsung berkaca-kaca. Tidak lama, tangisnya pecah jadi isakan kecil.

"Loh? Aku cuma tanya kabar doang, kok, tahu-tahu nangis?" Juno panik.

Tadi malam akhirnya Juno menelepon, mengabari bahwa ia sedang di bandara Matahora dan bersiap pulang. Evita baru saja tiba di rumah ketika itu. Ia lalu menceritakan apa yang terjadi padanya. Tentu, sambil menangis begitu. Perlu waktu hampir satu jam bagi Juno untuk menenangkan Evita yang tangisnya bercampur dengan omelan, keluhan, dan 'makian'. Yang terakhir itu adalah yang paling jarang Juno dengar langsung dari mulut Evita. Ia tidak tahu kapan Juno akan datang, yang ia tahu hanyalah Juno akan tiba di rumahnya dini hari ini. Apa yang Evita temukan di depan rumahnya itu sungguh mengobati.

Mereka duduk berdua di bangku tinggi pantry dapur. Evita membuatkan secangkir kopi untuk Juno dan menyeduh secangkir teh melati untuknya sendiri. Kali ini Juno berhasil menenangkan Evita lebih cepat dari semalam. Duduk berhadapan dengan Juno seperti ini adalah barang mewah bagi Evita. Ia akhirnya bisa puas menatap wajah Juno lagi, menatap matanya di balik kaca mata berbingkai tebal, alisnya yang selalu bertaut yang membuatnya kelihatan seperti selalu kesal dan tidak puas dengan segala hal.

"Aku perginya kelamaan, ya? Maaf..." Juno menerima cangkir yang Evita berikan.

"Iya. Kelamaan. Bales WhatsApp aku kek, telepon kek tiga atau empat menit, atau seenggaknya aktifin handphone kek. Buat apa bawa-bawa handphone kalo cuma buat dimatiin?" cecar Evita.

"Di tempat aku nginep jarang sinyalnya, kan, Yang..."

Evita terdiam, terlihat berpikir dan dengan malu mengakui bahwa Juno benar.

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang