(12) Culaccino

36 8 2
                                    

Pada awalnya mereka pikir ide membuka kedai kopi adalah satu-satunya hal yang hampir mustahil. Satu itu saja. Setelah langkah-langkah pertama berhasil mereka lalui tanpa kesulitan yang berarti, mereka akan siap. Lepas dari itu, semuanya jadi mungkin. Tetapi tepat sebulan yang lalu satu lagi hal hampir mustahil harus mereka hadapi. Mereka lupa kalau mengalah bagi mereka bertiga adalah hal yang hampir mustahil.

"Coffeeville. Udah gue jelasin. Stylish." Evita tetap dengan satu nama pilihannya dari sekian belas kandidat nama yang ia tulis dan ia coret berkali-kali.

"Nggak, nggak. Espresso Joe's lebih kedengeran komersil. Rhyme intended." Di seberang meja Ari mencondongkan tubuh, sama bersikerasnya seperti sejak pertama mereka mulai mengumpulkan ide nama.

"The Broadwalk menurut gue cocok sama lokasi kita. Atau Waterfront. Atau The Atrium. For the New York-ish feeling."

"Dannisa, lo bukan mau nulis buku. Gue sama Evita bela-belain ngusulin satu. Kenapa lo ngusulin tiga? Lagian apanya yang 'lebar' dari jalan Braga ini?" Ari geleng-geleng.

Juno memandang mereka dengan lengan terlipat di dada dan wajah bosan. Sudah berhari-hari ia harus bolak balik mendengarkan ketiga gadis itu duduk mengitari meja, berdiskusi soal nama yang akan digunakan untuk kedai kopi mereka. Melihat bagaimana yang satu maju mundur, yang satu bersikeras, dan yang satu tidak mau mengalah, Juno agak menyesal sudah berkata agensi desain kreatifnya akan memberikan mereka potongan harga untuk desain logo termasuk yang akan ditempel di kaca besar di muka kedai, kartu nama, dan di branding kit lainnya. Juno berharap kedatangannya pagi itu menjadi kali terakhirnya untuk ikut diskusi sebagai perwakilan dari pihak agensinya.

"Kalian yakin mau buka toko dengan keadaan kalian kayak begini?" Juno menghela napas.

"Emang kenapa? Semua udah dijadwal, thanks to our beloved counselor here, nggak cuma jadwal per hari, tapi juga per jam bahkan per menit."

Evita mendelik tajam pada sindiran Ari.

"Kapan?" tanya Dannisa.

"Hmm..." Evita membuka-buka planner-nya, "7 November?"

Ari menyambar planner Evita dan membelalak begitu melihat tanggal yang dilingkari merah. "Minggu pagi?"

"Itu jadwal yang udah pas. Kalo nama udah selesai hari ini, ijin akan selesai sebelum tanggal 7, semua menu udah dites, personil udah lengkap, jadi ngapain ditunda." Jelas Evita cepat.

"Grand opening kita harusnya malem, dong. Buat apa ngabisin banyak uang buat lighting kalo grand opening-nya malah pagi? First impression, Evita, first impression!"

"Minggu pagi juga bisa kasih kesan pertama yang bagus. People want everyday to be Satuday night and Sunday morning."

"Kadang gue lupa kalo yang ginian ini kerjaan Ari dan dia masuk akal," gumam Dannisa, "tapi Evita ada benernya. Fresh, lazy, easy, no hurry, no work. Sunday morning is a great timing."

Di ujung kalimat Dannisa, ketiganya terdiam. Saling berpandangan. Juno, seolah mengerti apa yang ketiga gadis itu pikirkan, menepuk tangan sekali dan menegakkan duduknya, "oke! Fixed!"

Dan, begitu saja. Semua nama yang mereka pertahankan mati-matian selama berminggu-minggu akhirnya lenyap di tangan Juno yang tidak sabar menyaksikan hari-hari panjang diskusi yang tidak pernah berkembang. Kenyataan bahwa tidak satupun dari kandidat nama yang mereka punya terpilih membuat ketiganya bereaksi lebih lambat setiap nama baru itu disebut-sebut. Masih terasa asing di telinga tetapi semuanya terasa benar.

***

Hari yang mereka tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Kecemasan meningkat. Semua orang jadi lebih senewen dari biasanya, bahkan Evita mulai sering mengomel jika ada yang masuk ke dapurnya meskipun hanya untuk mencuci tangan. Ari lebih sering menghabiskan waktu berdiam di lantai dua, mencecap bercangkir-cangkir espresso yang ia racik sendiri. Sementara Dannisa terserang sakit kepala secara berkala karena harus belajar menyusun pencatatan keuangan kedai dan copy editing sepanjang hari lalu mulai menyesaikan tulisannya sendiri malam harinya.

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang