(54) Lacuna

34 10 1
                                        

*Lacuna: (n.) a blank space or a missing part; gap.


Dengan tergesa-gesa Ari memarkir asal di mobilnya di carport, nyaris menyentuh bumper belakang sebuah mobil sedan hitam. Entah mobil siapa, entah mobil Harry yang mana, entah mobilnya yang lama sudah diganti. Tidak dihiraukannya sapaan Mbak Ina, ART mereka yang tadi membukakan pagar untuknya. Di kepalanya cuma ada ayahnya saja. Matahari sudah naik. Pukul setengah tujuh pagi. Harusnya Harry masih di rumah, belum berangkat ke kantor jika tidak sedang dalam perjalanan bisnis.

Ia benar. Harry sedang menyesap kopi di meja makan, masih mengenakan kaus oblong dan celana piyama. Ia mendongak dari tabletnya ketika mendengar langkah berderap Ari memasuki ruang makan. Harry tak tampak kaget melihat Ari tahu-tahu ada di hadapannya setelah berminggu-minggu. Ia malah tersenyum.

"Kejutan." Harry melipat koran. "Sini duduk. Tunggu sebentar, biar Mbak Ina siapin bubur ayam. Ina?" panggilnya.

"Kamu sendirian? Oh, iya. Agnar pulang sebentar, ya? Mau Papa teleponin Agnar untuk janji sarapan bareng besok atau lusa? Kamu free, kan? Agnar ke sini lagi besok, dia bilang."

"Nggak usah. Ari cuma perlu makan sama Papa." Ari duduk di seberang meja, kagum sendiri dengan ketenangannya.

"Agnar akan jadi keluarga kita juga, dia harus mulai ikut kebiasaan-kebiasaan keluarga begini, dong."

"We should stop doing whatever we're doing now," tukas Ari tegas dengan rahang terkatup.

"What I AM doing?" ulangnya, "I'm offering my only daughter a hearty breakfast. Sudah lama sekali sejak terakhir kita makan bersama."

"Kita berhenti aja, Pa," ujarnya lagi, lambat-lambat.

"Apa kita akan ngobrol seperti biasa lagi hari ini?" Wajah Harry berubah serius.

"Ari nggak bisa nikah sama Agnar. Atau siapapun yang Papa pilihkan selanjutnya." Ari menggigit bibir, merasakan secuil perasaan berat di pangkal kalimatnya.

"Itu tujuan kamu pulang ke rumah?"

"Ada yang harus Ari bereskan satu-satu setelah kejadian semalam. Ini yang pertama."

"Kamu punya orang lain?"

"Bukan itu alasan Ari."

"Alex?"

Ari menatap Harry lurus-lurus.

"Kamu masih main sama anak itu ternyata. Papa betul, kan? Alex alasannya?"

"It's my own business."

Saat itu Mbak Ina sudah tiba di ruang makan, berdiri canggung melihat Ari dan Harry saling pandang dengan tajam.

"Nggak jadi, Na. Sarapannya nanti aja. Atau mungkin kita nggak akan sarapan apa-apa hari ini." Suara Harry melunak. Ia beranjak dari kursinya, berniat meninggalkan ruang makan. Mbak Ina kemudian berlalu dari situ tanpa mengatakan apa-apa, membawa lagi nampan berisi mangkuk yang mengepulkan asap tipis.

"Kita seharusnya nggak boleh melakukan ini sama Agnar. Jahat namanya. Aku udah selesaikan semuanya sama Agnar, sekarang giliran Papa. Bebaskan dia dari apapun rencana Papa."

"Ya, udah. Kalo itu mau kamu. Kita lupain Agnar. Tapi lupain juga kerjaan kamu di Bandung. Pindah ke sini lagi. Secepatnya."

Ari mendesah. "Papa kasian nggak, sih sama Ari? Papa mau apa lagi? Belom cukup mencampuri hidup Ari??" Dirasakannya suaranya meninggi. "Nikahin Ari sama Agnar juga belom cukup? Ngambil Mama dari hidupnya juga? Abis ini kenapa nggak coret aja sekalian nama Ari dari keluarga Papa! Mending nggak usah jadi anak Papa!"

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang