(31) The Truth Unveiled

28 7 4
                                    

Dannisa menggotong sebuah kursi tua berkarat ke depan toko dan meletakkan kotak kayu bekas berisi sebuket anyelir segar di atasnya, sebagai dekorasi. Dirapikannya setangkai anyelir kuning di pinggiran kotak. Ia menjerit tertahan sebelum tangkai itu berbaris rapi. Serpihan kayu yang mencuat dari kotak menusuk jari tengahnya. Sebagian kecil serpihannya masuk ke lapisan kulit. Dannisa memaki kecil.

Rasanya tidak ada yang berjalan sesuai rencananya berhari-hari belakangan. Merapikan susunan bunga dekorasi saja tidak berjalan baik. Telur-telur pecah ketika ia sedang mengeluarkannya dari dalam kantung belanjaan. Tulisan yang ia salin dari buku catatan ke dalam laptop-nya tidak sengaja ia hapus permanen. Belum lagi banyak pesanan pelanggan yang salah tulis dan salah antar. Pikirannya sudah lama berputar-putar di satu tempat, membuatnya tampak seperti manusia kopong dari luar.

"Kayaknya gue harus minta maaf sama lo," jelas Evita hari itu, ketika mereka diam-diam bicara mengenai Hanan dibalik punggung Ari. Dannisa kaget karena reaksi Evita tidak seperti yang ia takutkan.

"Minta maaf?"

"Gue udah curiga dari dulu bahwa," Evita mengambil jeda sebentar untuk menarik napas, "ada sesuatu sama Hanan. Gue menunggu terlalu lama untuk ngasih tau elo."

"Vit, lo nakut-nakutin gue, deh."

"Dia bilang nggak apa yang bikin dia marah?"

"Katanya dia nggak seharusnya ada di sini. Katanya dia bisa lebih dari dirinya sekarang. Gue tau sejak awal Hanan berbeda dari orang lain. Dia lebih segalanya. Dia lebih hidup, dia lebih tau apa itu hidup dengan benar, dia menghargai apa yang dia lakukan untuk hidupnya. Dia pantas atas sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Tapi setelah gue liat dia begitu, dua kali pula, gue jadi nggak ngerti. Alex liat Hanan marah waktu itu. Tapi, Vit, yang gue liat," Kata-katanya tercekat di tenggorokan, "dia nggak marah. Dia takut."

"Waktu itu dia cuti sakit beberapa hari setelah kalian berantem, ya?"

Dannisa mengangguk

"Episode-nya lebih pendek dari yang sering gue liat."

Dannisa memandangnya putus asa, meminta penjelasan lebih.

"Dugaan sementara gue adalah Hanan nggak tipes atau radang tenggorokan waktu itu. Menurut analisa gue, karena gue perlu spend time yang cukup sama dia, dia lagi dalam depressive episode-nya. Lo tau apa itu bipolar, kan?"

Kontan Dannisa tertawa pahit. Antara tidak percaya dan tidak ingin percaya.

"Gue lagi syuting film atau lagi ada di dalem novel drama, nih?"

"As an expert, sebenernya gue nggak bisa bilang gini, karena gue perlu melakukan beberapa tes bahkan tes lab. Tapi mungkin ini bisa membawa dia mendapatkan penanganan yang tepat. Dia ngingetin gue sama salah satu klien yang akhirnya gue rujuk ke psikiater. Well, Hanan is in his depressive episode. Itu dugaan sementara gue. Apa yang lo liat dua kali itu adalah efek dari manic episode-nya. Lo lagi sial aja dia out of balance dan manic episode-nya berefek pada kemarahan dan frustasi."

"Nggak mungkin, deh... Itu cuma hormonal imbalance aja, kan? Perubahan mood-nya nggak secepat itu."

"Ini bukan soal seberapa cepat mood-nya berubah, tapi soal seekstrem apa dua kutub suasana hati, aktivitas, dan energinya ketika ada pemicu atau malah ketika nggak ada pemicu langsung. Dia bisa aja happy, carefree, dan feeling superior selama dua tahun dan setahun kemudian depresi. Atau sebaliknya. Nggak ada pola yang tetap, Dan."

Senyap di antara mereka. Dannisa mencerna penjelasan Evita dengan baik tetapi di dalam dirinya ia masih menganggap Hanan sedang cuti sakit. Tapi bukan sakit seperti ini.

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang