*Pronoia: (n.) the belief that "the world" is manipulating circumstances around you for your benefit.
Pagi yang tiba selalu berarti lebih dari sekedar hari baru bagi Hanan. Ia terbangun pagi itu dengan perlahan, ketika matahari belum terlalu tinggi. Dirasakannya sedikit sinar yang menembus tirai dan jatuh di kaki tempat tidurnya, di selimut yang masih membalut sebelah kakinya. Pipinya masih menempel pada bantal.
Satu hari lagi, Hanan membatin.
Pelan-pelan ia bangkit dan duduk di tepi tempat tidur. Satu hari lagi saja, ulangnya dalam hati, seraya melangkah menuju kamar mandi. Di depan wastafel ia berdiri, mengamati bayangannya di kaca. Tangannya meraba lekuk-lekuk wajahnya. Seolah merasa-rasai bahwa itu benar wajahnya sendiri. Pipinya lebih tirus dari yang terakhir kali ia ingat. Kulitnya yang cerah tampak kusam. Matanya lelah, seperti belum tidur dua hari. Yang terakhir itu memang begitu kenyataannya.
Hanan membuka lemari di balik kaca wastafel dan mengambil setabung kecil tablet putih yang isinya tinggal setengah. Ia mengeluarkan beberapa butir ke telapak tangan dan menelannya sekaligus.
Satu hari lagi, aku mohon.
Ia memejamkan mata kuat-kuat hingga dahinya berkerut. Dan itu bukan karena beberapa tablet yang menuruni tenggorokannya sekaligus atau getir yang tertinggal di ujung lidahnya.
***
Hanan meraih pegangan pintu dan melangkah masuk. Aroma kopi dan harum canape yang manis menyeruak. Sepi sekali Sunday Morning Sabtu pagi itu. Ia langsung bisa menemukan Dannisa yang biasanya duduk di antara meja-meja yang ramai, menyembunyikan diri, menunduk pada buku catatannya. Ia tersenyum kecil melihat kerut di kening Dannisa yang sedang membaca sebuah buku di pangkuannya. She misses her crowds, of course, pikir Hanan.
"You better frown because you miss me," Hanan menghampiri Dannisa yang duduk di sudut dekat tangga spiral. Dikecupnya pipi kanan Dannisa sekilas.
"Yeah, right," Dannisa mendengus tertawa, "kayak saya perlu cari alasan lain aja."
Lagi, Hanan tersenyum lega. Hari ini ia tidak merasa harus banyak berbicara sebagaimana hari lainnya ketika mereka bersama. Ia hanya ingin seperti ini, duduk di hadapan Dannisa, di seberang meja bundar yang cukup kecil ini hingga lutut mereka nyaris bersentuhan di bawah meja, mendengar lirih suara Gregory Alan Isakov di latar belakang menyanyikan Words dan sesekali suara Ari berbicara pada pelanggan di area konter. Lagipula ia tidak punya apapun untuk dibicarakan. Tidak ingin malah.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Hm?" Hanan agak kaget karena Dannisa tiba-tiba bertanya demikian.
Ia mengacungkan buku tebal bersampul merahnya pada Hanan, meminta persetujuan. Hanan mengangguk. Rupanya ini hari Dannisa masuk ke dalam gua lagi. Tidak apa, pikirnya. Ia suka sekali memperhatikan Dannisa yang sedang di dalam gua; binar matanya, bibirnya yang mengerucut karena konsentrasi, dan bagaimana rambut panjangnya jatuh ke sisi wajahnya karena menunduk. Hanan tidak pernah lelah akan itu. Semua itu obat baginya, penawar hari buruknya, susah hatinya. Lagi, Hanan kembali disembuhkan.
Pagi ini ia sakit. Untuk kesekiankalinya. Hanan sadar itu. Ia tidak tahu mimpi apa yang didapatnya semalam karena kemarin ia tidak seperti ini.
"Oh, iya." Dannisa menutup buku tebalnya dengan bunyi bug kecil. Wajahnya berubah antusias.
"Ada kabar bagus?"
"Nashkah saya selesai dan saya kirim ke publisher saya dulu. Pagi tadi saya ditelepon. Ada editor baru yang tertarik sama naskah saya," Dannisa tersenyum lebar di ujung kalimatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...