Goodzilla Graphic House, Jakarta
Seseorang membuka pintu ruang kaca Juno. Ia mengangkat kepala dari monitor komputernya untuk melihat siapa yang datang. Nathan, salah satu junior associate-nya, melongokkan kepala di pintu.
"Loh, gue kira udah balik, Mas?"
"Satu ini lagi." Juno kembali mengetik sesuatu di laptop-nya.
"Mau ke mana tadi bilangnya? Ke Bandung?"
Juno menegakkan punggungnya dan mengangguk sekilas.
"Presentasi untuk lusa itu, Mas?" Nathan bertanya. Lagi Juno hanya mengangguk. "Kalo urgent pergi aja. Itu gue aja yang beresin."
"Nggak apa-apa, Nat. Tanggung. Lo pulang duluan aja, udah malem." Tanpa berusaha membujuk lebih jauh lagi,
Nathan pasrah menuruti keinginan atasannya itu dan meninggalkan Juno sendiri di ruangannya. Juga di kantor itu.
Ponsel Juno yang tergeletak di meja di samping komputernya masih memperlihatkan pesan WhatsApp yang sama sejak beberapa jam lalu.[Dannisa]
Evita masuk igd sore td. GERD. Mungkin dirawat 1 atau 2 malem. Lo pulang gk?Juno menghela napas berat. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri penuh frustrasi. Dibacanya pesan itu sekali lagi lalu tak lama kemudian mengetik balasannya dengan cepat.
Nggak bisa dan. Ada presentasi besok. Sori ya.
***
Dannisa menatap Hanan ragu. Padahal ia sudah menyandang tasnya dan mengganti sandal jepitnya dengan Converse yang warna hitamnya sudah berubah abu-abu. Hanan siap berangkat. Tinggal menunggu keputusan Dannisa yang maju mundur.
"Yuk? Kamu bisa ikut saya ke kelas malah."
Dannisa menggeleng kuat-kuat, "saya nggak akan pernah ke kampus lagi selama muka saya masih muka saya."
Setengah jam perjalanan kemudian, keduanya duduk di kelas Metode Penelitian Hanan, dua baris dari bangku paling belakang. Dannisa tidak memercayai dirinya sendiri dan cuma bisa tertawa-tawa hampa dalam hati."Nggak ada yang ngenalin kamu, kan betul?" bisik Hanan, "kapan lagi kamu ngalamin ini."
"Mungkin aja ada. Lagian saya udah pengen lupa pengalaman saya yang dulu," Dannisa balas berbisik. Ia bersyukur kelas itu penuh dan mereka duduk jauh dari podium.
Untuk beberapa saat Hanan sibuk memerhatikan kuliah dosennya sementara Dannisa menulis sesuatu di buku catatannya. Ketenangan yang langka di antara mereka. Dannisa menyukai itu. Dannisa menyukai keputusannya menyetujui ajakan Hanan yang random. Karena apa? Ia sendiri tidak tahu mengapa ia mengatakan ya begitu saja pagi tadi. Sekarang ia merasa dirinya sebentar lagi akan pindah hidup terpisah di dunia Hanan yang aneh.
Sekitar satu jam kemudian, ketenangan itu pecah. Dannisa sudah menulis lebih dari delapan lembar dan Hanan kelihatan mulai bosan.
"Coba." Anak itu mengambil buku catatan Dannisa dari meja.
"Dua menit aja, ya, dua menit?" Dannisa yang tidak mencoba mencegah karena takut menimbulkan kegaduhan hanya bisa was-was.
Tidak tampak mendengarkan, Hanan asik saja membuka-buka halaman secara acak dan mulai membaca. Mata Dannisa mengikuti mata Hanan menyusuri setiap baris dengan kecemasan yang makin lama makin menjadi. Bibir Hanan membentuk senyum kecil yang miring, tanda kepuasan, kekaguman, atau malah cemooh terselubung, Dannisa tidak bisa mengartikan.
"Ini apa?" tanya Hanan setelah rasanya berhalaman-halaman telah ia baca dan tangan Dannisa memegangi bukunya, tidak rela Hanan membaca lebih banyak.
Dannisa mengedikkan bahu. "Ini itu. Apapun yang kebetulan lewat di kepala."

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sunday Morning
Romance3 sahabat sepakat untuk meninggalkan hidup yang kacau dan memulai rencana ternekat dalam hidup mereka: membuka kedai kopi. Ari, gadis populer berjiwa bebas, Evita, sang hopeless romantic, dan Dannisa, si domba hitam keluarga, berjuang membangun bis...