(42) The Funny Feeling

36 11 4
                                        

Tidak pernah satu detikpun selama Evita bersama Juno, ia tidak menginginkan hal ini. Tidak ada ruang bagi keraguan untuk menjadi pendamping Juno yang sah satu inci pun. Tidak ada. Evita mengingat setiap doa yang ia panjatkan setiap kali mereka merenggang, berjarak. Ia meminta Tuhan menukar setiap miliknya, apa saja, asal dirinya dan Juno selamat dari ujung yang paling ujung dari perselisihan mereka. Ia berani menggadaikan semua yang ia punya hanya demi doanya untuk bisa tetap bersama Juno terkabul. Sekarang, setelah semua doanya terkabul, ia berpikir kembali. Ternyata tak ada apapun miliknya yang digadai. Kini segala usaha, doa, air mata, dan pergumulan batin yang berkali-kali menelannya seperti gelombang pasang, semuanya, jadi terasa murah.

Apa Evita tahu mereka akan seperti ini, tepat seperti mimpi-mimpi dan harapan besarnya? Tidak. Segala yang ia bisa bayangkan setiap ia memanjatkan doa pada Tuhan hanyalah bayangan dirinya dan Juno yang berada di persimpangan kemudian masing-masing mengambil jalan yang berbeda. Bubar. Tanpa pernah saling melihat ke belakang. Itu selalu jadi mimpi buruknya walau bertahun-tahun ini nyatanya tidak satupun dari bayangan itu terjadi.

Sekarang Evita ingin seseorang, siapapun, mengatakan padanya; mengapa setelah ia mengumpulkan ayah dan ibunya di ruang makan, mengatakan bahwa Juno akan datang melamar dan lamaran akhirnya dilakukan beberapa minggu lalu dengan ia menjadi satu-satunya wanita yang dipasangkannya cincin di jari manis, dan Juno menjadi pria yang dengan gagah melangkah ke hadapannya di meja penghulu nanti, setelah Juno berkata pada semua keluarga dan kerabatnya bahwa ia bersedia menikahi Evita dan Evita akan menjadi tanggung jawabnya seumur hidupnya, dan setelah mereka menentukan tanggal dan ia selesai membuat reservasi gedung untuk bulan Desember, mengapa dirinya masih tidak juga merasakan yang seharusnya ia rasakan?

Evita bertanya-tanya, apa karena ia berada di taksi itu, pergi ke kantor WO untuk memilih catering sendirian? Ia yakin tidak. Ia sudah biasa pergi sendiri tanpa Juno, ini itu tanpa Juno. Ia juga sudah tahu Juno tidak bisa pergi bersamanya kali ini karena harus mengurusi kliennya apalah itu hingga akhir pekan. Bukan masalah meski ini seharusnya dilakukan bersama-sama oleh calon pengantin wanita dan calon pengantin pria.

Lalu apa?

Juno menelepon begitu taksi online-nya meluncur dari Sheraton menuju Lengkong. Hampir pukul 12. Ia pasti sedang berada di salah satu kafe atau restoran, sedang akan makan siang--selalu--dengan klien-kliennya. Seolah-olah pekerjaannya hanya selesai di waktu makan dan istirahat.

"Udah jadi booking venue-nya, Yang?" Juno langsung bertanya tanpa Evita lebih dulu berkata halo.

"Belum. Aku masih pilih-pilih," jawabnya, berusaha keras bersikap ramah walau sejak pagi rasanya ia ingin mencekik semua orang yang berurusan dengannya.

"Kalo soal venue aku ikut kamu aja deh, Yang," Juno berkata lagi. Evita bergumam singkat tanda mengerti.

Bagaimana dengan yang lainnya? Kamu pada akhirnya akan ikut aku saja? Ingin sekali Evita berkata begitu.

"Maaf, ya E, kita harus cancel yang hari Jumat ini. Aku baru pulang Minggu."

Evita tahu itu. Ia tahu itu akan terjadi cepat atau lambat selama waktu persiapan yang semakin terasa tidak nyata ini. Seperti yang selalu terjadi sejak dulu. Evita hanya menghela napas yang ia yakin kentara sekali karena Juno langsung diam di ujung telepon. Diamnya Juno jika tidak marah atau kesal berarti menunggu Evita yang marah atau kesal terhadapnya.

"Kamu ada waktu jam..." Juno berhenti sebentar, "8.30 malem ini?"

"Aku selalu ada waktu, kok," Evita menekankan kalimatnya nyaris dengan keketusan yang tak terkontrol.

"Aku FaceTime kamu nanti malem, ya? Gedung aja, kan? Ada yang lain? Seragam attendants? Suvenir?"

"Aku catetin dulu hari ini. Sampe ketemu nanti malem."

[END] Sunday MorningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang