☆50

1.1K 101 47
                                    


Balkon apartemen Sunghoon, ditemani gelas berisi soju ditangan serta sinar matahari yang mulai menampakkan diri menyadarkan Jake jika hari sudah mulai berganti. Pria itu merasakan denyutan di kepala, melirik meja yang terletak disamping lalu dengan kesadaran yang hampir menghilang ia menghitung botol botol yang menemaninya sepanjang malam.

Tiga. Tidak, empat. Hampir empat botol soju terteguk olehnya sendiri. Kepalanya terasa berat, memegang dahi juga sesekali menarik napas dalam dalam untuk kembali mengumpulkan kesadaran namun terasa sia sia.

Pria itu, tidak tidur. Sepanjang malam, setelah tiba di apartemen Sunghoon dan membawa pria tersebut ke rumah sakit, Jake memilih kembali ke apartemen Sunghoon alih-alih pulang ke rumah. Ia tak memikirkan apapun sepanjang malam selain Jeon Jina, istrinya.

Bahkan pria itu merasa tak sanggup untuk sekedar membuka ponselnya. Pesan Jina, foto yang anak buah Haruto kirimkan serta tingkah Jina yang belakangan ini terasa membingungkan, semuanya beradu padu dalam kepala, membuatnya bingung dan tidak tahu harus bertindak bagaimana.

Jika memang Jina selama ini masih mencintai kakaknya, mengapa wanita itu bersikap seolah olah mencintainya? Mengapa Jina bersikap seolah olah benar benar ingin menerima pernikahan ini? Bisakah ia merasa marah? Biasakan ia merasa kecewa akan perlakuan Jina? Haruskah ia berbicara untuk terakhir kalinya dan memastikan apa yang sebenarnya wanita itu inginkan?

Namun, Jake merasa tak sanggup. Atau bahkan belum. Hatinya terasa berat, bahkan untuk bertemu saja pria itu tak yakin apakah dirinya sanggup untuk mendengar semua penjelasan Jina.

Terkekeh kecil, Jake seketika merutuki dirinya sendiri, merasa bodoh. Pria itu merasa bersalah jika ia kecewa pada istrinya. Pria itu bahkan merasa tak punya hak untuk sekedar marah. Ia kembali menuangkan soju itu pada gelas, namun belum sempat meneguk, gelas tersebut sudah diambil alih oleh seseorang.

"Lo mau nyusul Sunghoon tepar di rumah sakit gara-gara kebanyakan minum?"

Haruto menyahut, menggeleng melihat botol botol soju diatas meja.

Jake menoleh dengan mempertahankan kesadaran. "Gimana Sunghoon?"

"Udah sadar, dia udah mau diajak ke makam bokapnya setelah pulang dari rumah sakit." Haruto mendudukkan diri di depan Jake. "Ga nyangka Jina bisa bikin lo mabok sampai kayak gini"

Jake hanya terkekeh, ia menyender sekaligus memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.

"Kenapa ga coba hubungin lagi? Omongin baik baik buat terakhir kalinya. Lo, Jina, Heeseung. Kalian bertiga, omongin. Kalau selesai ya selesaiin sekalian."

Menghela napas, Jake menggeleng pelan. "Gua belum siap"

"Gimana kalau itu cuma salah paham?"

"Gua belum siap." Lagi lagi Jake menyahut, mengambil alih gelas yang berada diatas meja lantas kembali menuangkan soju.

"Kalau itu cuma salah paham, kasian Jina, cuy. Dia pasti bingung banget. Kasian istri lu.."

Menyesap soju itu, Jake menatap Haruto. "Kalau beneran, gua yang hancur, to."

Haruto mengangguk membenarkan. "Ok, fine. Take ur time."

"Dari awal memang gua yang salah. Harusnya gua ga terima pernikahan itu. Harusnya dari awal gua tau kalau Jina ga bakal bisa lupain kak Heeseung. Harusnya dari awal, gua ga jatuh cinta"

Jake memutar mutar gelas ditangannya, rasa bersalah tiba-tiba kembali menyerangnya. Jika saja, saat itu dirinya menolak dan mencari cara agar bunda tidak disakiti oleh neneknya, mungkin sekarang Jina dan Heeseung sudah hidup bahagia tanpa ada penghalang.

UNCONDITIONALLY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang