☆44

1.4K 183 45
                                    

Sebenarnya apa yang disebut dengan titik terendah? Apakah disaat kamu merasa kehilangan segalanya? Apakah disaat kamu merasa lelah akan segalanya? Jina sendiri sebenarnya tidak mengerti, hanya saja ia saat ini tidak mau menyebut jika dirinya sedang berada di titik terendah.

Wanita itu hanya menganggap, dirinya sedang lelah. Entah mungkin karena persoalan yang akhir akhir ini sangat menggangu pikirannya atau karena kondisi emosi dirinya yang sedang tidak stabil.

Sudah sekitar lima belas menit Jina berpikir, akhirnya pribadi itu memutuskan akan berhenti dari pekerjaannya. Karena sungguh, isi kepalanya saat ini seperti terpecah belah mengenai permasalahan yang timbul baru baru ini, juga mengenai pekerjaan yang beberapa kali membuatnya tak fokus.

Bukan berarti ia tidak mencintai pekerjaannya. Hanya saja, ia ingin mengurangi setidaknya satu beban pikirannya.

Memandangi Jake yang masih tertidur pulas di sampingnya, jemari Jina lantas perlahan mengusap pipi Jake. Memperhatikan dengan teliti wajah pria yang mencintainya dengan sangat tulus itu. Diam diam Jina berpikir bagaimana ia bisa seberuntung ini?

Nyatanya memang Jina yang beruntung bisa dicintai laki laki sesempurna Jake. Setidaknya Jina kini memiliki alasan mengapa ia harus bertahan dan memperjuangkan satu satunya kebahagiannya.

"Kamu demam, Ji"

Jina sontak menjauhkan tangannya ketika Jake tiba tiba berucap demikian dengan mata yang masih tertutup. "Kamu udah bangun?"

Jake mengulas senyum, meraih kembali jemari Jina untuk ia genggam, lantas perlahan mengecup punggung tangan itu dengan lembut.

"Kenapa berhenti? Elus lagi" Ujar Jake setelahnya menatap Jina.

Jina terkekeh kecil, menggeleng pelan. "Aku bangunin kamu, ya?"

"Enggak" Sahut Jake, kini mengusap pelan surai wanita itu. "Aku udah bangun tapi tidur lagi"

Jina terdiam beberapa saat, lantas semakin mendekat untuk memeluk Jake. "Aku boleh resign?"

Jake tentu terkejut dengan penuturan Jina yang tiba-tiba. Pria itu bahkan menghentikan gerakannya yang mengelus surai wanita itu.

"Resign?" Tanya Jake, memastikan.

Jina mengangguk. "Iya"

"Dari pekerjaan?"

"Iya" Jawab Jina, mendongak menatap Jake. "Boleh?"

"Kenapa?"

"Aku mau fokus ngurus caffe aja"

Terdiam beberapa saat, pria itu kemudian mengangguk, diam diam dirinya merasa senang karena Jina meminta izin padanya.

"Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, Ji." Ujar Jake, mencubit pelan pipi Jina membuat wanita itu mendecak sebal karena kebiasaan Jake akhir akhir ini.

"Tapi jangan sampai kelelahan kaya gini, kamu demam" Jake melanjutkan. "Mau ke dokter?"

Jina sontak menggeleng. "Enggak, paling cuma sementara"

"Hari ini ngga usah kemana mana, ya? Istirahat. Biar aku yang ngomong ke Jay kalau kamu resign. Aku juga yang cariin pengganti kamu nanti"

Jina buru buru menolak. "Enggak, aku aja yang urus. Ngga enak kalau ngga aku sendiri yang bilang"

Jake menghela napas. "Sayang, kamu demam. Lagian Jay, aku, sama Sunghoon itu udah kaya saudara, kamu ngga usah khawatir. Walaupun kita sering berantem."

Terkekeh kecil, Jina mengangguk kemudian. Wanita itu sebenarnya tidak terlalu mengerti tentang friendship ketiga orang yang sering digosipkan karyawan kantor karena kerja sama tiga perusahaan besar dengan ceo yang ganteng kalau kata mereka.

UNCONDITIONALLY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang